Pasti para pelajar
sudah terbiasa mendengar kata “sastra.” Sastra sering disebut dalam pelajaran
Bahasa Indonesia di sekolah. Karya sastra berdasarkan bentuknya ada puisi,
prosa, dan drama. Berdasarkan waktu
pembuatannya ada satra lama, seperti pantun, syair, gurindam, dongeng, dan
hikayat. Kedua ada sastra baru, seperti semua puisi bebas yang tidak termasuk
puisi lama, cerpen, dan novel. Kemudian apa yang dimaksudkan dengan “Pelajar
dan Sastra Bagaikan Pahlawan dengan Taktik Gerilyanya”? Sastra dapat menjadi
jembatan bagi pelajar meraih masa depan cemerlangnya, seperti para pahlawan
dengan taktik gerilyanya untuk meraih kemenangan. Ada pelajar yang memang minat
untuk berkecimpung dalam dunia sastra dan seni, maka dari itu mereka pasti
mempelajarinya. Lalu bagaimana dengan pelajar lain yang tidak punya bakat dan
minat untuk berkecimpung di dalam dunia seni dan sastra? Apakah mereka harus
tetap mempelajarinya? Dan apabila mempelajarinya, apa manfaat yang didapatkan?
Umar bin Khattab pernah
berpesan, ajarkan sastra kepada anak-anaknmu, karena itu dapat mengubah anak
yang pengecut menjadi pemberani. Pesan Umar cukup menggambarkan kaitan erat
antara sastra dan pembentukan karakter seseorang. Dengan belajar sastra, kita
menjadi tahu makna kehidupan. Kita terbiasa untuk mengungkapkan sesuatu dengan
keindahan dan kelembutan. Selain memperluas pengetahuan kita memperluas
pengetahuan karena menyajikan cerita berdasarkan kondisi nyata.
Sebuah riset yang
dilakukan oleh David Comer Kidd dan Emanuele Castano dari New School For Social
Research menemukan bahwa novel satra dapat membantu pembacanya menjadi lebih
empatik terhadap orang lain. Riset tersebut melibatkan 1000 partisipan, di mana
mereka secara acak diminta untuk membaca novel populer atau novel sastra. Dalam
riset tersebut, kedua pakar menggunakan teknik teori pikiran (theory of mind)
untuk mengukur seberapa akurat partisipan mengidentifikasi emosi yang dialami
oleh orang lain. Hasilnya menunjukkan bahwa partisipan yang membaca novel
sastra lebih akurat dalam mengenali emosi seseorang dibanding mereka yang
membaca novel populer. Di sisi lain membaca karya sastra membuka diri kita
terhadap informasi-informasi yang baru serta lengkap, pembaca akan memperoleh
ide-ide yang cemerlang yang lebih kreatif. Seperti pesan dari Buya Hamka
“sesuatu yang dibutuhkan untuk menghaluskan jiwa adalah seni dan sastra.”
Banyak pelajar yang
suka mengambil suatu kesimpulan, misalnya seperti saat mereka memiliki
cita-cita menjadi dokter, kemudian mereka berpikir apa gunanya mempelajari
sastra dan pelajaran lain yang mereka anggap tidak digunakan saat menjadi
dokter. Berpikir seperti itu sangatlah
salah besar! Ketika mempelajari sesuatu, saya misalkan itu ketika kalian
belajar sastra, tidak selalu belajar itu tentang isi, belajar itu juga tentang
proses dalam usaha memahami isi. Apa yang paling penting tapi kadang terlupakan
adalah cara otak melatih berpikir dalam proses pembelajaran. Dengan kata lain,
itu membuat pikiranmu tajam dan membuatmu berpikir cepat dan paham dengan baik.
Jadi pikirkan tentang
itu. Bagaimana belajar sastra bisa melatih kemampuan berpikirmu? Lagi, ketika
kamu mulai bekerja di masa depan kamu tidak harus ingat kisah Romeo dan Juliet.
Namun, sastra melatih otakmu seperti untuk berpikir kreatif, belajar tentang
emosi manusia dan bagaimana perilaku manusia, mengamati dan memahami interaksi
manusia, membaca pikiran orang, mengorganisasikan informasi untuk mendukung
suatu argumen. Lagi-lagi seluruh keterampilan berpikir penting bagimu untuk
meraih sukses sebagai aktor, guru, pengacara, manajer, orang bisnis, psikolog,
dokter bedah, politisi, periklanan, jurnalis, komandan tentara, atau pemimpin
apapun. Singkatnya, kamu membutuhkan keterampilan dalam setiap profesi.
Belajar sastra sangat
penting karena manfaat yang kita dapat bisa menjadikan kita pandai mengolah
emosi dan rasa. Hal itu tentu diperlukan untuk kehidupan pelajar yang suatu
saat akan terjun dalam masyarakat.
XI MIPA 2
Tidak ada komentar:
Posting Komentar