Jumat, 05 Oktober 2018

PENINGKATAN KETERAMPILAN BERBAHASA DAN MENGENAL BUDAYA SEBAGAI DASAR MENCETAK GENERASI MAJU YANG PANDAI DALAM MENGANALISIS DAN MEMECAHKAN MASALAH


PENINGKATAN KETERAMPILAN BERBAHASA DAN MENGENAL BUDAYA SEBAGAI DASAR MENCETAK GENERASI MAJU YANG PANDAI DALAM MENGANALISIS DAN MEMECAHKAN MASALAH

ESAI

Diajukan untuk Mengikuti Lomba Esai dalam Rangka Bulan Bahasa 
 SMA Negeri 1 Purworejo Tahun 2018






Oleh :



Ulfah Nur Azizah

19708

XI MIPA 7





SMA NEGERI 1 PURWOREJO

2018


PENDAHULUAN

            Secara kodrati, Indonesia terlahir sebagai bangsa yang memiliki kemajemukan, yang secara sepenuhnya tidak dimiliki oleh bangsa lain. Indonesia terbentang dari 6oLU–11oLS dan 95oBT–141oBT, dari Sabang hingga Merauke yang berjajar pulau-pulau. Secara keseluruhan, pulau-pulau di Indonesia berjumlah 17.508 buah pulau besar dan pulau kecil (Tim Kerja Sosialisasi MPR-RI, 2015). Sebagian besar pulau-pulau tersebut didiami oleh penduduk dengan berbagai suku, agama, ras, bahasa, budaya, dan keragaman lainnya. Kemajemukan tersebut telah menjadi ciri khas bangsa Indonesia sekaligus sebagai suatu kebanggaan serta ancaman apabila konflik antargolongan tidak segera diatasi.

            Sebelum adanya multikulturalisme di Barat, bangsa Indonesia telah memiliki pandangan hidup “Bhinneka Tunggal Ika”. Pada pemikiran masyarakat yang majemuk, selain adanya kebudayaan kelompok suku bangsa, masyarakat Indoesia juga terdiri dari beragam kebudayaan daerah yang bersifat kewilayahan yang merupakan pertemuan dari berbagai kebudayaan kelompok suku bangsa di daerah tersebut  (Hermi Yanzi).

            Di era kontemporer, Alvin Toffler seorang guru besar dalam bidang futurologi melalui karyanya Future Shock The Third Wave (1970: 14) mengatakan bahwa umat manusia akan mengalami tiga masa mulai dari era pertanian yang disebut sebagai gelombang pertama antara 800 SM-1500 M. Pada masa ini kehidupan manusia dicirikan dengan aktifitas yang berpindah-pindah tempat (nomaden) untuk berburu dan mencari sumber makanan di alam bebas. Kemudian masuk ke era industri dimana pada era ini ditemukan berbagai macam alat produksi untuk memudahkan pekerjaan manusia seperti mesin uap, kendaraan bermotor, dan bola lampu. Gelombang kedua ini berlangsung antara tahun 1500-1970 M. Gelombang ketiga terjadi pada 1970-2000 M dimana era teknologi berkembang begitu pesatnya melewati batas ruang dan waktu. Pada masa ini terjadi besar-besaran transfer ilmu pengetahuan melalui berbagai macam alat-alat elektronik seperti komputer, laptop, handphone, dan lain-lain.

            Seiring majunya peradaban zaman zaman, bahasa daerah yang merupakan ciri kearifan lokal hingga bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan dan budaya bangsa semakin memudar. Untuk mengatisipasi lunturnya budaya dan bahasa yang telah ada sebagai kodrat bagi bangsa Indonesia, diperlukan adanya peningkatan keterampilan berbahasa dan mengenal budaya, khusnya bagi pelajar. Hal ini berkaitan erat dengan perkembangan era globalisasi, yaitu sebagai dasar dalam mencetak generasi maju yang pandai dalam menghadapi permasalahan era modern, baik yang sudah nyata maupun yang masih abstrak.



1.     RUMUSAN MASALAH

a.      Apa pentingnya mengembangkan keterampilan berbahasa dan mengenal budaya di kalangan pelajar?

b.     Bagaimana kaitannya pengembangan keterampilan berbahasa dan mengenal budaya dengan menganalisis dan memecahkan masalah?

c.      Bagaimana cara meningkatkan keterampilan berbahasa dan mengenal budaya yang dapat meningkatkan kemampuan menganalisis dan memecahkan masalah?

2.     TUJUAN

a.      Mengetahui pentingnya mengembangkan keterampilan berbahasa dan mengenal budaya di kalangan pelajar.

b.     Mengetahui kaitannya mengembangkan keterampilan berbahasa dan mengenal budaya dengan menganalisis dan memecahkan masalah.

c.      Mengetahui cara meningkatkan keterampilan berbahasa dan mengenal budaya yang dapat meningkatkan kemampuan menganalisis dan memecahkan masalah.







































PEMBAHASAN



a)     Pentingnya mengembangkan keterampilan berbahasa dan mengenal budaya di kalangan pelajar.

                 Bahasa merupakan salah satu alternatif yang digunakan seseorang untuk berkomunikasi. Melalui bahasa, manusia dapat menjalin hubungan atau berinteraksi dengan alam sekitarnya, terutama sesama manusia sebagai makhluk sosial ciptaan Tuhan (Hermi Yanzi). Bahasa sebagai media komunikasi memiliki peran penting dalam mengungkapkan segala sesuatu yang ada dalam diri seseorang, baik pemikiran, pandangan, pendapat, maupun emosi. Dalam kehidupan sehari-hari, manusia tidak terlepas dari bahasa, baik yang diungkapkan melalui lisan, tulisan, maupun yang diungkapkan melalui gerakan. Variasi dan perbedaan cara berbahasa dapat menunjukkan kepribadian dan karakter seseorang. Kepribadian adalah semua corak perilaku dan kebiasaan individu yang terhimpun dalam dirinya dan digunakan untuk bereaksi serta menyesuaikan diri terhadap segala rangsangan baik dari luar maupun dari dalam  (Iyus Yosep, 2007). Menurut Alport, kepribadian adalah organisasi dinamis di dalam individu dari sistem psikofisik yang menentukan keunikan penyesuainannya terhadap lingkungan  (Srivastava, 2018).  Corak perilaku dan kebiasaan ini merupakan kesatuan fungsional yang khas pada seseorang. Perkembangan kepribadian tersebut bersifat dinamis, artinya selama individu masih bertambah pengetahuannya dan mau belajar serta menambah pengalaman dan keterampilan, mereka akan semakin matang dan mantap kepribadiannya (Depkes, 1992).  Sementara itu, menurut Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, karakter adalah sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang dari yang lain, tabiat, watak. Dalam Dorland’s Pocket Medical Dictionary (1968: 126) dinyatakan bahwa karakter adalah sifat nyata dan berbeda yang ditunjukkan oleh individu (Pranowo). Karakter seseorang dapat ditunjukkan melalui bahasa yang dilantunkan oleh orang tersebut, salah satunya pelajar. Berdasarkan tujuannya, pelajar terbagi menjadi dua macam, yaitu pelajar yang sungguh-sungguh dalam menuntut ilmu dan pelajar yang hanya menjadikan sekolah sebagai formalitas belaka yang ditunjukkan dengan sikap yang tidak terjaga. Pelajar yang berada di lingkungan yang mendukung intelektualnya, cenderung akan menjaga bahasa atau ucapan mereka sebagaimana mestinya. Contohnya, saat pelajar tersebut harus berhadpan dengan orang yang lebih tua, mere cenderung menjaga bahasanya dengan tujuan menghormati lawan bicara mereka. Sementara itu, pelajar yang berada dalam lingkungan yang acuh tak acuh terhadap bahasa, mereka cenderung akan membebaskan dirinya untuk berbahasa semau mereka. Hal ini erat kaitannya dengan budaya yang telah tercipta dalam lingkungan yang melingkupi mereka. Dalam budaya Jawa, saat orang yang lebih muda berbicara atau berkomunikasi dengan orang yang lebih tua, mereka akan mengubah bahasa kesehariannya dengan bahasa yang lebih sopan seperti bahasa krama.

                 Budaya terdiri dari pola eksplisit dan implisit dari perilaku yang diperoleh dan ditransmisikan oleh simbol. Budaya terbentuk dari banyak unsur yang rumit, termasuk sistem agama dan politik, adat istiadat, bahasa, perkakas, pakaian, bangunan, dan karya seni serta bahasa, sebagaimana juga budaya, merupakan bagian tak terpisahkan dari diri manusia sehingga banyak orang menganggapnya sebagai genetis atau warisan turun-menurun. Menurut Kroeber dan Kluckhohn (1951), budaya merupakan pencapaian khas dari kelompok manusia, termasuk perwujudan mereka dalam artefak. Inti penting dari budaya yang terdiri dari gagasan tradisional dan terutama yang berkaitan dengan nilai-nilai moral mereka. Sistem budaya, dalam satu sisi dapat dianggap sebagai produk tindakan, sedangkan di sisi lain dianggap sebagai elemen bersyarat dari tindakan masa depan (Spencer-Oatey, 2012).

                 Di era globalisasi ini, semuanya semakin tidak terkendali. Beriringan dengan era tersebut, banyak terjadi akulturasi budaya barat dengan budaya Indonesia yang telah mengakar sejak zaman nenek moyang. Hal ini dikhawatirkan akan menyebabkan terhapusnya budaya Indonesia dan terdorongmasuknya budaya barat yang tidak sesuai dengan adat dan moral bangsa Indonesia. Ditambah lagi, abad-21 memberikan tantangan tersendiri bagi generasi muda Indonesia saat ini, khususnya bagi kaum pelajar. Pelajar merupakan investasi yang disiapkan dari masa sekarang agar menjadi orang-orang hebat yang memiliki pemikiran kritis dan kreatif dalam menghadapi permasalahan di era global. Oleh karena itu, penting bagi pelajar untuk meningkatkan keterampilan berbahasa dan mengenal budaya Indonesia agar keduanya tetap terjaga hingga ke generasi selanjutnya.

b)     Kaitannya pengembangan keterampilan berbahasa dan mengenal budaya dengan menganalisis dan memecahkan masalah.

                 Berdasarkan sejarah, para pendiri bangsa telah menyadari keberagaman yang ada di Indonesia. Keberagaman tersebut telah diikat dalam ikrar Sumpah Pemuda. Ikrar pemuda tersebut selanjutnya diperkuat daam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 36 dan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2006 tentang Bendera, Bahasa, Lambang Negara, dan Lagu Kebangsaan. Sebagai simbol jati diri bangsa, bahasa Indonesia harus tetap dikembangkan agar tetap memenuhi fungsinya sebagai bahasa persatuan dalam komunikasi nasional di berbagai aspek kehidupan. Dengan adanya bahasa Indonesia, paham egosentris tentang kedaerahan dapat diminimalisasi sehingga terciptalah bahasa komunikasi yang menyatukan berbagai keberagaman di Indonesia.

                 Pada prinsipnya, orang yang pandai berbahasa memiliki nilai lebih dalam mengomunikasikan pemikirannya. Apalagi, di era globalisasi ini, bukan hanya keterampilan menulis dan duduk pasif di dalam ruang kelas, melainkan harus bisa mengomunikasikan hasil pemikiran kita, baik dari bentuk tulisan maupun yang masih terdapat dalam angan-angan. Hal ini selaras dengan pemikiran abad-21, yaitu dimilikinya keterampilan communication atau komunikasi. Dalam mengomunikasikan hasil cipta, karsa, rasa, dan pemikiran, seseorang harus bisa berbahasa dengan baik agar lawan bicara atau pendengar dapat menangkap sesuatu yang kita komunikasikan.

                 Bahasa Indonesia memiliki fungsi dalam kedudukannya sebagai bahasa nasional, yakni: (1) sebagai alat atau sarana pemersatu berbagai suku bangsa, (2) sebagai lambang identitas nasional atau jati diri bangsa, (3) sebagai lambang kebanggaan nasional, dan (4) sebagai alat atau sarana komunikasi antardaerah dan antarbudaya daerah. Kemudian fungsi bahasa Indonesia dalam kedudukannya sebagai bahasa negara, yakni: (1) sebagai bahasa resmi kenegaraan, (2) sebagai bahasa dalam hukum dan perundang-undangan, (3) sebagai alat atau sarana pengembang Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) dan budaya, serta (4) sebagai bahasa pengantar dalam dunia pendidikan (Kridalaksa, 1985).

                 Sesuai dengan fungsi bahasa Indonesia sebagai alat pemersatu bangsa yang multikultural, bahasa dapat menyatukan beragam pendapat, pandangan, maupun konsep pemikiran. Akan tetapi, perlu diingat bahwa setiap fungsi pasti memiliki suatu kelemahan. Kelemahan itu akan timbul apabila bahasa Indonesia tidak dapat dimanfaatkan secara bijak, baik, dan benar, dapat menimbulkan suatu masalah baru. Contohnya, apabila bahasa Indonesia semata-mata hanya digunakan untuk menjelek-jelekkan atau menyudutkan suatu kelompok masyarakat, maka bahasa Indoesia tidak lagi berfungsi sebagai alat pemersatu bangsa. Katakanlah, jika saja dalam suatu wilayah orang-orangnya hanya memiliki keterampilan berbahasa, tetapi minim dalam mengenali budaya, maka wilayah tersebut bisa hancur persatuannya karena penggunaan bahasa tidak dimanfaatkan dan dikelola secara baik, melainkan menyimpang dari fungsi bahasa. Hal ini tentunya dipengaruhi oleh budaya yang di dalamnya termaktub adat istiadat, moral, tata krama, dan sopan santun dalam bergaul.

                 Selain itu, bahasa mencerminkan karakter seseorang. Hal ini disebabkan oleh ujaran-ujaran yang dituturkan secara literal dapat menunjukkan kesopanan, keakraban, memberikan penguatan, dan menciptakan kedamaian serta kegembiraan hati. Begitu juga eleman-elemen nilai yang terkandung dalam bahasa dijelmakan menjadi bagian dari sikap, perilaku, kebiasaan, dan kebutuhan penutur bahasa. Jika elemen-elemen nilai kesantunan, displin, jujur, hati-hati, dan bijaksana telah ditransfer menjadi sikap, perilaku, kebiasaan, dan kebutuhan penutur bahasa, maka nilai-nilai itu sudah menjadi jati diri dan karakter penutur bahasa tersebut  (Oktavianus, 2013). Dengan begitu, bahasa yang dituturkan seseorang telah menjadi ciri khas dan dapat membentuk karakter penutur dari nilai-nilai bahasa yang dirtuturkan. Apabila generasi muda saat ini mampu mengelola bahasa yang mereka tuturkan dengan baik, maka karakter mereka secara tidak langsung akan terbentuk. Jika bahasa yang dituturkan tersebut berasal dari sebuah ide atau gagasan  yang telah dipikirkan secara kritis dengan melihat variabel-variabelnya, maka permasalahan bangsa Indonesia mendatang dapat diatasi dengan pemikiran-pemikiran kritis dan pengomunikasiannya kepada pihak lain dengan bahasa yang mampu mereka tangkap.

                 Seiring berkembangnya zaman, teknologi pun ikut berkembang. Hingga tahun 2018 ini, teknologi masih mengalami masa perkembangan. Di mana artificial intelligence (AI), yaitu area kompoter sains yang menekankan kreasi dari kecerdasan mesin yang bekerja dan memberikan reaksi seperti manusia, kini tengah dikembangkan, khususnya di negara-negara maju seperti Eropa dan Amerika. Bila bangsa kita masih saja pasif menghadapi perkembangan teknologi yang semakin pesat, bisa jadi dampak negatif perkembangan teknologi semakin menyebar dan tidak menutup kemungkinan jika budaya nenek moyang selama ini akan semakin menipis dan akhirnya menghilang.

                 Di sisi lain, generasi muda memerlukan suatu inovasi yang nantinya bisa bermanfaat bagi bangsa Indonesia kelak. Salah satu caranya yaitu dengan penerapan budaya berpikir kritis yang dapat dimulai sejak dini. Budaya ini masih dikembangkan oleh pemerintah melalui penerapan 4C (critical thinking, creativity, colaboration, dan communication) untuk menyongsong tantangan abad-21. Tentu saja, budaya yang telah tersusun di zaman nenek moyang perlu dikenal, dipelajari kembali, lalu dikembangkan guna menghasilkan budaya baru yang tidak terlepas dari turun-temurunnya budaya nenek moyang bangsa Indonesia.

                 Sementara itu, dapat dikatakan bahwa salah satu bentuk budaya ialah kearifan lokal. Kearifan lokal dapat didefinisikan sebagai suatu kekayaan budaya lokal yang mengandung kebijakan hidup; pandangan hidup (way of life) yang mengakomodasi kebijakan (wisdom) dan kearifan hidup  (Suyatno, 2011). Di Indonesia, kearifan lokal tidak berlaku secra lokal pada budaya tertentu, melainkan bersifat lintas budaya sehingga membentuk nilai budaya yang bersifat nasional. Contohnya, hampir di setiap budaya lokal di Indonesia mengajarkan gotong royong, toleransi, semangat kerja, dan lain-lain. Pada umumnya, etika dan nilai moral yang terkandung dalam kearifan lokal diajarkan secara turun menurun sejak zaman nenek moyang. Namun, sifat turun-temurun tersebut tidak sepenuhnya terjamin keutuhannya. Dalam kehidupan saat ini, banyak sekali pergeseran nilai moral yang telah diwariskan sejak zaman nenek moyang karena arus globalisasi era modern. Kearifan lokal yang sesungguhnya dipandang sebagai identitas bangsa tidak akan bermakna tanpa dukungan ideologi yang berpihak kepadanya. Dalam konstelasi global, ketika perang dingin telah berakhir dengan runtuhnya Uni Soviet, tanpa ideologi yang menyertai kepentingan nasional, bangsa ini akan semakin kehilangan identitas dalam percaturan global dan hanyut dalam arus globalisasi yang didikte oleh negara lain.

                 Apabila generasi muda telah dapat menelaah budaya yang selama ini termaktub dalam budaya bangsa Indonesia, maka kecil kemungkinannya budaya tersebut akan meluruh. Seiring berjalannya arus globalisasi, generasi muda harus bisa membentengi bangsa Indonesia agar tidak hanyut dalam pengaruh negatifnya yang dapat menghancurkan persatuan dan kesatuan bangsa melalui permasalahan-permasalahan yang timbul, baik yang terduga maupun yang tidak terduga. Pengetahuan bahasa dan budaya harus saling berkaitan satu sama lain. Tidaklah suatu bangsa dapat bertahan tanpa adanya budaya, dan tidaklah suatu bangsa saling mengerti pemikiran kaumnya tanpa adanya bahasa. Dalam praktik dunia teknologi ini, banyak permasalahan baru yang akan timbul. Oleh karena itu, untuk mengatasinya, dibutuhkan generasi muda yang aktif, cerdas, kreatif, berpikir kritis, dapat berkomunikasi lewat bahasa yang baik, dan tidak meninggalkan budaya yang selama ini telah diajarkan oleh nenek moyang bangsa Indonesia sebagai bekal memajukan Indonesia melalui pemikiran-pemikiran analitik dan berkonsep pada budaya bangsa dengan jalan menganalis masalah tersebut dan memecahkannya secara bersama-sama melalui komunikasi bahasa persatuan, bahasa Indonesia, dengan catatan tidak melupakan bahasa daerah yang telah menjadi ciri khas kemajemukan Indonesia.

c)     Cara meningkatkan keterampilan berbahasa dan mengenal budaya yang dapat meningkatkan kemampuan menganalisis dan memecahkan masalah.

                 Keterampilan berbahasa dan mengenal budaya dapat ditingkatkan melalui pengembangan literasi yang  bermanfaat dan senantiasa menjaga kearifan lokal bangsa Indonesia yang selama dalam perjalanannya semakin terkooptasi oleh berbagai kepentingan ekonomi dan politik global yang dijalankan oleh negara-negara maju. Literasi mengajarkan kita untuk bisa berpikir kritis, mendalami sebuah permasalahannya, kemudian menganalisis permasalahan baru yang akan timbul walaupun masih secara abstraksi.

                 Dikarenakan arus globalisasi dan kemajuan teknologi yang pesat di era modern ini, banyak budaya Indonesia yang telah mengakar sejak zaman dahulu kini menjadi semakin menipis dan pola perilaku masyarakat menjadi berubah mengikuti pola ekonomi modern yang serba konsumtif. Untuk mengatasi masalah ini, generasi muda harus bisa mempersiapkan sejak dini keterampilan yang menunjang dalam mengahadapi tantangan abad-21 mendatang, yaitu dengan senantiasa menjaga bahasa daerah hingga bahasa nasional dengan sebaik-baiknya dan jangan melupakan budaya daerah yang menjadi ciri khas budaya nasional bangsa Indonesia.

                





              



















DAFTAR PUSTAKA





Iyus Yosep, S. M. (2007). Konsep Kpribadian, Kesadaran, Konsep Emosi, Konsep Stress dan Adaptasi, Depresi, Pengukuran Dan Uji Perilaku.

Kridalaksa, H. (1985). Fungsi Bahasa dan Sikap Bahasa. Nusa Indah.

Oktavianus. (2013). Bahasa yang Membentuk Jati Diri dan Karakter Bangsa. Journal Arbitrer, 72.

Pranowo, D. D. (n.d.). Implementasi Pendidikan Karakter Kepedulian dan Kerjasama pada Matakuliah Keterampilan Berbicara Bahasa Perancis dengan Metode Bermain Peran.

Spencer-Oatey, H. (2012). Global PAD Core Concepts. What is Culture?

Srivastava, G. S. (2018). What Makes a Good Structural Model of Personality? Personal Dimentions.

Suyatno, S. (2011, April 23). Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Retrieved September 27, 2018, from Revitalisasi Kearifan Lokal sebagai Upaya Penguatan Identitas Keindonesiaan: badanbahasa.kemdikbud.go.id/lamanbahasa/content/revitalisasi-kearifan-lokal-sebagai-upaya-penguatan-identitas-keindonesiaan

Tim Kerja Sosialisasi MPR-RI. (2015). Empat Pilar Kehidupan Berbangsa dan Bernegara. Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR-RI.

[FILE]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar