Saat
menguarnya wacana Chairil Anwar diangkat sebagai pahlawan Indonesia, tak
sedikit yang mengernyitkan dahi. Pertanyaan atau pertentangan keduanya
sama-sama bermunculan. Pertanyaan yang paling awam didengar adalah, “Memangnya
apa yang dilakukannya hingga pantas mendapatkan gelar pahlawan?” atau “Puisi
Chairil kan tidak berorientasi untuk bangsa Indonesia, individualis bahkan.
Bagaimana bisa menjadi dasar diangkatnya sebagai pahlawan Indonesia?” atau “Chairil
dulu kan tidak ikut membidikkan tulup untuk mengusir serdadu. Mengapa bisa
dinobatkan sebagai pahlawan?”
Sastrawan
pahlawan atau bukan?
Lantas
orang yang seperti apa yang bisa kita sebut sebagai pahlawan? Apakah yang dulu
tak kenal lelah mengacungkan bambu runcing? Apakah mereka yang selalu melakukan
konferensi dengan penjajah? Atau apakah mereka yang berada dibalik terkibarnya
sang Saka di seluruh penjuru negeri?
Pahlawan.
Hanya satu kata namun bisa membuat kita bertekuk lutut. Hanya satu kata namun
bisa membuat kita mengilas balik memori pada masa-masa penuh ketakutan. Hanya
satu kata namun bisa membuat huru hara seantero negeri.
Titik
berat pandangan rakyat Indonesia mengenai pahlawan adalah dia yang mengucurkan
segala keringat untuk melawan musuh. Dia yang unjuk otot atau dia yang berusaha
menyusun strategi taktik penyerangan. Namun nyatanya, pahlawan lebih dari itu.
Pahlawan
adalah dia yang mampu berkorban dengan keberaniannya yang mengobar untuk
membela kebenaran. Pahlawan adalah dia yang memiliki sikap gagah berani,
menentang di barisan paling depan terhadap ketidakadilan. Pahlawan adalah dia
yang mampu menjadi panutan dan berhak dikenang oleh seluruh rakyat Indonesia.
Sastrawan
pahlawan atau bukan?
Hanya
hal kecil yang bernama kesalahpahaman mampu membuat rakyat Indonesia memiliki
pandangan yang berbeda mengenai sosok pahlawan. Ada yang berkata, “Ibu adalah
pahlawanku,” atau “Pahlawan itu yang dibuat patungnya lalu dipertontonkan di
museum-museum,” atau justru “Bukan. Pahlawan itu yang wajib kita hafalkan di
bangku sekolah dasar dan lukisannya dipajang berderet-deret di dinding.”
Pahlawan
berhak mendapat lebih dari sekadar masuk dalam ingatan setiap warga Indonesia.
Pahlawan berhak mendapat lebih dari sekadar diingat saat mengheningkan cipta.
Pahlawan berhak mendapat lebih dari sekadar dibuat museum, patung, atau malah
pajangan. Pahlawan berhak mendapat lebih dari itu.
Akan
lebih bermoral jika kita menjadikan pahlawan sebagai idola kita. Idola yang
setiap kali dipuja seolah hidup kita selalu berorientasi untuk mencontohnya.
Idola yang setiap kali kita mengingat bukan hanya sekadar mengingat jasanya
tetapi juga mendoakannya. Idola yang setiap kali bertindak selalu kita jadikan
panutan.
Sastrawan
pahlawan atau bukan?
Jelasnya,
definisi pahlawan sudah dipaparkan dalam pasal 25 dan 26 UU Nomor 20 Tahun
2009, untuk memperoleh gelar pahlawan nasional, seseorang harus memenuhi
beberapa syarat umum dan khusus, yang di antaranya seperti : 1) Warga Negara
Indonesia, 2) Punya integritas moral dan keteladanan, 3) Berjasa terhadap
bangsa dan Negara, 4) Mengabdi sepanjang hidupnya atau melebihi tugas yang
diembannya, 5) Pernah menghasilkan karya besar yang bermanfaat bagi
kesejahteraan masyarakat luas atau meningkatkan harkat dan martabat bangsa.
Dalam
sepenggal undang-undang yang sudah dipaparkan, tidak ada yang membahas mengenai
bambu runcing, rencong, linggis, atau senjata apapun. Namun, sepenggal itu
sudah menegaskan dengan gamblang, pahlawan adalah dia yang pernah menghasilkan
karya besar yang bermanfaat bagi kesejahteraan masyarakat luas atau
meningkatkan harkat dan martabat bangsa.
Saya
tidak berkata bahwa dulu yang menodongkan senjata tidak bisa disebut sebagai
pahlawan. Mereka juga bisa disebut sebagai pahlawan. Siapapun bisa disebut
sebagai pahlawan dengan cara yang berbeda-beda. Dengan pandangan yang
berbeda-beda. Dengan keahlian yang berbeda-beda. Dengan peran dan jatah yang
berbeda-beda. Pahlawan dengan caranya masing-masing.
Sastrawan
pahlawan atau bukan?
Dari
beberapa syarat yang dipaparkan dalam undang-undang, si Chairil jelas bisa
disebut memenuhi kesemua syaratnya. Faktanya, Chairil tidak hanya membuat puisi
personal atau yang mereka sebut individualis, tetapi beberapa karya Chairil
seperti “Diponegoro” atau “Perjanjian dengan Bung Karno” bahkan terus maju
tanpa gentar diulang-ulang saat hari kemerdekaan.
Rakyat
Indonesia banyak yang berusaha mengenang karyanya dengan membacanya berulang
kali. Namun, sudah saya katakan, mengenang bukan hanya mengingat tentang
karyanya.
Karya
Chairil selalu digadang-gadang tak peduli sudah luput oleh usia. Tidak peduli
sudah terlampau kuno. Tak peduli sudah termakan perjalanan waktu. Mengapa?
Karena Rakyat Indonesia mencintai karyanya. Lantas mengapa Chairil tidak bisa
menjadi pahlawan?
Kalau
begitu, pandangan Anda masih belum berubah mengenai pahlawan. Baik, mari kita
bahas dengan sudut pandang Anda. Chairil disebut-sebut Profesor A. Teeuw, ahli
kesusastraan Indonesia, punya peran penting dalam pematangan bahasa Indonesia
yang pada zamannya masih seumur jagung dan tak punya fondasi bahasa yang kuat.
Chairil
mempromosikan bahasa Indonesia, lantang menggunakannya yang saat itu hanya
menjadi konsumsi publik terbatas. Lewat puisi-puisinya, ia memelihara
satu-satunya faktor pemersatu jutaan orang Indonesia dari Sabang sampai Merauke
selain mitos kesamaan nasib dijajah Belanda : Bahasa Indonesia. Lantas mengapa
Chairil tidak bisa menjadi pahlawan?
Pun
begitu ketika kita menyoal yurisprudensi terpilihnya sastrawan sebagai pahlawan
nasional, Forum Inisiator Pengusulan Chairil Anwar menjadi Pahlawan Nasional
mengambil patokan, bahwa apabila WR Supratman dengan lagu Indonesia Raya saja
mampu menjadi pahlawan, mengapa Chairil tidak?
Logika
analogi tersebut mungkin masih bisa didebat, dengan misalnya mengatakan bahwa
lagu Indonesia Raya menjadi lagu kebangsaan Indonesia dan masih digunakan
hingga kini. Namun, apabila klaim Teeuw benar, bahwa Chairil menjadi pematang
bahasa Indonesia, apa itu belum cukup?
Sastrawan
pahlawan atau bukan?
Bahasa
Indonesia menjadi jembatan bagi ribuan pulau, penghubung banyak lautan, dan
penyambung segala perbedaan yang tumbuh di Indonesia. Bayangkan jika hingga
saat ini, penggunaan bahasa Indonesia tidak dikonsumsi oleh seluruh kalangan.
Bayangkan jika bahasa Indonesia hanya digunakan untuk masyarakat golongan atas.
Bahkan, bayangkan jika tidak pernah ada bahasa Indonesia. Tentu kita tidak bisa
menguasai dari Sabang sampai Merauke.
Namun,
bayangkan jika bahasa Indonesia selalu digunakan. Bayangkan jika bahasa
Indonesia dengan segala keunikan di dalamnya digunakan sebagai satu-satunya
cara kita berkomunikasi dengan makhluk sosial lain. Tentu kita bisa menguasai
dari Sabang sampai Merauke.
Karena
bahasa Indonesia jiwanya bangsa Indonesia. Masih tidak percaya?
Apa
yang menjadi tonggak awalnya kemerdekaan Indonesia? Tepat, proklamasi. Bahasa
apa yang digunakan dalam proklamasi? Tidak perlu muluk-muluk bahkan perembugan
proklamasi saja menggunakan bahasa Indonesia. Lantas bagaimana seluruh penjuru
Indonesia tahu bahwa dirinya sudah merdeka? Di radio, di surat kabar, mereka
memberitakannya. Sekali lagi dengan bahasa Indonesia. Berita itulah yang
membuat mereka mengerti bahwa mereka akhirnya terlepas dari siksaan jasmani
maupun rohani. Dan tidak dapat dipungkiri bahwa berita itu bisa dimengerti juga
berkat bahasa Indonesia. Sebesar itulah jasa bahasa Indonesia yang sekarang
bisa membuat kita bernapas mengambil oksigen sebanyak-banyaknya tanpa rasa
takut akan terbunuh oleh senapan. Dan sebesar itu pula jasa para sastrawan yang
berhasil mengembangkan layar bahasa Indonesia. Lantas mengapa sastrawan tidak
bisa menjadi pahlawan?
Sastrawan
pahlawan atau bukan?
Pasti
masih ada satu pertanyaan yang mengganjal dalam pikiran, “Memang ada pahlawan
yang dulunya sastrawan?” Bukannya tidak ada tapi kita yang menolak untuk tahu.
Menolak untuk mengerti. Menolak untuk mempelajari. Banyak pahlawan besar yang
memiliki latar belakang seorang sastrawan.
Abdul
Moeis. Siapa yang tidak mengenal beliau? Beliau adalah aktivis dan politikus
Minang. Tidak hanya itu, nama beliau juga dikenal sebagai sastrawan dan
wartawan yang aktif pada masanya. Salah satu karyanya yang sangat mengangkasa
adalah “Salah Asuhan” yang saat ini masih terus dibaca oleh masyarakat
Indonesia. Novel tersebut dibuat di Garut, Jawa Barat, saat ia mengalami pengasingan
di Agam, Sumatera Barat.
Amir
Hamzah. Nama beliau juga masuk sebagai pahlawan Nasional. Latar belakang
kehidupannya adalah seorang sastrawan angkatan Pujangga Baru. Gaya bahasanya
sangat beranding terbalik dengan penulisan Chairil Anwar. Jika ia menulis puisi
mengenai Tuhannya dengan perasaan rindu yang mengharu biru, maka Chairil justru
menulis puisi “Gelanggang Kami Berperang”. Pun begitu pula dengan Muhammad
Yamin. Sosok yang terpatri di pikiran warga Indonesia sebagai sosok politikus
yang berdiri di baris depan juga turut berperan penting dalam proses
pengembangan bahasa Indonesia. Salah satunya saat proses sumpah pemuda. Saat
itu, angan keindonesiaan yang masih mengambang di angkasa menjadi lebih
terealisasi. Sejak saat itu, Chairil meneruskan usaha Muhammad Yamin dengan
menghidupkan bahasa Indonesia dalam puisi-puisinya.
Sastrawan
pahlawan atau bukan?
Apakah
kita masih ingin menutup mata dan telinga kita mengenai jasa sastrawan untuk
bangsa Indonesia? Bukankah pahlawan yang sebenarnya adalah yang berjasa dan
yang menghasilkan karya bagi kesejahteraan manusia?
Terkadang,
jasa-jasa kecil yang kita anggap remeh sering kita lupakan. Bahkan tidak kita
hiraukan sama sekali. Para sastrawan memang tidak muluk-muluk berdiri menentang
penjajah, rela mati mengorbankan jiwanya, meninggalkan keluarganya yang
menunggunya di rumah, dan merelakan perutnya berkali-kali tertusuk belati. Para
sastrawan memang tidak muluk-muluk berdiri di depan semua orang menyampaikan
orasinya mengenai kemerdekaan. Menyuarakan kebebasan. Para sastrawan memang
tidak muluk-muluk duduk berjam-jam demi melakukan perjanjian, demi melakukan
negosiasi dengan penjajah. Para sastrawan hanya melakukan sedikit dari
kemampuannya. Setidaknya suatu hal kecil yang dilakukan para sastrawan yang
bernama sastra mampu mengubah nasib bangsa Indonesia. Satu kata itu mampu
menyatukan seantero negeri hingga seluk pelosoknya. Mampu menjadi jembatan
bermil-mil lautan lepas di Indonesia. Satu hal kecil itu yang menyatukan
serpihan daratan yang terpecah belah menjadi satu nama, Indonesia.
Sastrawan
pahlawan atau bukan?
Pertanyaan
itu memang masih terngiang di benak rakyat Indonesia. Jawabannya, jelas bisa
iya atau bisa tidak. Dan satu-satunya yang menentukan adalah pandangan
masing-masing rakyat Indonesia. Wacana pengangkatan sastrawan menjadi pahlawan
nasional menuai pro dan kontra. Sebagian dari mereka yang belum memahami betul
apa sesungguhnya definisi dari pahlawan mungkin akan menatap dengan sebelah
mata. Namun, apabila pendapat tersebut dipaksakan, maka tidak ada hasilnya
juga. Untuk apa dinobatkan sebagai pahlawan jika jauh di dalam jiwanya tidak
menganggap pahlawan. Untuk apa dinobatkan sebagai pahlawan jika tidak
menjadikannya sebagai panutan. Karena menjadi pahlawan lebih dari sekadar
dipajang dan dipuja.
Sastrawan
pahlawan atau bukan?
Penulis : Shafira Khalisa Hanun
XI MIPA 5
Tidak ada komentar:
Posting Komentar