Jumat, 05 Oktober 2018

Sastrawan Pahlawan atau Bukan?


Saat menguarnya wacana Chairil Anwar diangkat sebagai pahlawan Indonesia, tak sedikit yang mengernyitkan dahi. Pertanyaan atau pertentangan keduanya sama-sama bermunculan. Pertanyaan yang paling awam didengar adalah, “Memangnya apa yang dilakukannya hingga pantas mendapatkan gelar pahlawan?” atau “Puisi Chairil kan tidak berorientasi untuk bangsa Indonesia, individualis bahkan. Bagaimana bisa menjadi dasar diangkatnya sebagai pahlawan Indonesia?” atau “Chairil dulu kan tidak ikut membidikkan tulup untuk mengusir serdadu. Mengapa bisa dinobatkan sebagai pahlawan?”

Sastrawan pahlawan atau bukan?

Lantas orang yang seperti apa yang bisa kita sebut sebagai pahlawan? Apakah yang dulu tak kenal lelah mengacungkan bambu runcing? Apakah mereka yang selalu melakukan konferensi dengan penjajah? Atau apakah mereka yang berada dibalik terkibarnya sang Saka di seluruh penjuru negeri?

Pahlawan. Hanya satu kata namun bisa membuat kita bertekuk lutut. Hanya satu kata namun bisa membuat kita mengilas balik memori pada masa-masa penuh ketakutan. Hanya satu kata namun bisa membuat huru hara seantero negeri.

Titik berat pandangan rakyat Indonesia mengenai pahlawan adalah dia yang mengucurkan segala keringat untuk melawan musuh. Dia yang unjuk otot atau dia yang berusaha menyusun strategi taktik penyerangan. Namun nyatanya, pahlawan lebih dari itu.

Pahlawan adalah dia yang mampu berkorban dengan keberaniannya yang mengobar untuk membela kebenaran. Pahlawan adalah dia yang memiliki sikap gagah berani, menentang di barisan paling depan terhadap ketidakadilan. Pahlawan adalah dia yang mampu menjadi panutan dan berhak dikenang oleh seluruh rakyat Indonesia.

Sastrawan pahlawan atau bukan?

Hanya hal kecil yang bernama kesalahpahaman mampu membuat rakyat Indonesia memiliki pandangan yang berbeda mengenai sosok pahlawan. Ada yang berkata, “Ibu adalah pahlawanku,” atau “Pahlawan itu yang dibuat patungnya lalu dipertontonkan di museum-museum,” atau justru “Bukan. Pahlawan itu yang wajib kita hafalkan di bangku sekolah dasar dan lukisannya dipajang berderet-deret di dinding.”

Pahlawan berhak mendapat lebih dari sekadar masuk dalam ingatan setiap warga Indonesia. Pahlawan berhak mendapat lebih dari sekadar diingat saat mengheningkan cipta. Pahlawan berhak mendapat lebih dari sekadar dibuat museum, patung, atau malah pajangan. Pahlawan berhak mendapat lebih dari itu.

Akan lebih bermoral jika kita menjadikan pahlawan sebagai idola kita. Idola yang setiap kali dipuja seolah hidup kita selalu berorientasi untuk mencontohnya. Idola yang setiap kali kita mengingat bukan hanya sekadar mengingat jasanya tetapi juga mendoakannya. Idola yang setiap kali bertindak selalu kita jadikan panutan.

Sastrawan pahlawan atau bukan?

Jelasnya, definisi pahlawan sudah dipaparkan dalam pasal 25 dan 26 UU Nomor 20 Tahun 2009, untuk memperoleh gelar pahlawan nasional, seseorang harus memenuhi beberapa syarat umum dan khusus, yang di antaranya seperti : 1) Warga Negara Indonesia, 2) Punya integritas moral dan keteladanan, 3) Berjasa terhadap bangsa dan Negara, 4) Mengabdi sepanjang hidupnya atau melebihi tugas yang diembannya, 5) Pernah menghasilkan karya besar yang bermanfaat bagi kesejahteraan masyarakat luas atau meningkatkan harkat dan martabat bangsa.

Dalam sepenggal undang-undang yang sudah dipaparkan, tidak ada yang membahas mengenai bambu runcing, rencong, linggis, atau senjata apapun. Namun, sepenggal itu sudah menegaskan dengan gamblang, pahlawan adalah dia yang pernah menghasilkan karya besar yang bermanfaat bagi kesejahteraan masyarakat luas atau meningkatkan harkat dan martabat bangsa.

Saya tidak berkata bahwa dulu yang menodongkan senjata tidak bisa disebut sebagai pahlawan. Mereka juga bisa disebut sebagai pahlawan. Siapapun bisa disebut sebagai pahlawan dengan cara yang berbeda-beda. Dengan pandangan yang berbeda-beda. Dengan keahlian yang berbeda-beda. Dengan peran dan jatah yang berbeda-beda. Pahlawan dengan caranya masing-masing.

Sastrawan pahlawan atau bukan?

Dari beberapa syarat yang dipaparkan dalam undang-undang, si Chairil jelas bisa disebut memenuhi kesemua syaratnya. Faktanya, Chairil tidak hanya membuat puisi personal atau yang mereka sebut individualis, tetapi beberapa karya Chairil seperti “Diponegoro” atau “Perjanjian dengan Bung Karno” bahkan terus maju tanpa gentar diulang-ulang saat hari kemerdekaan.

Rakyat Indonesia banyak yang berusaha mengenang karyanya dengan membacanya berulang kali. Namun, sudah saya katakan, mengenang bukan hanya mengingat tentang karyanya.

Karya Chairil selalu digadang-gadang tak peduli sudah luput oleh usia. Tidak peduli sudah terlampau kuno. Tak peduli sudah termakan perjalanan waktu. Mengapa? Karena Rakyat Indonesia mencintai karyanya. Lantas mengapa Chairil tidak bisa menjadi pahlawan?

Kalau begitu, pandangan Anda masih belum berubah mengenai pahlawan. Baik, mari kita bahas dengan sudut pandang Anda. Chairil disebut-sebut Profesor A. Teeuw, ahli kesusastraan Indonesia, punya peran penting dalam pematangan bahasa Indonesia yang pada zamannya masih seumur jagung dan tak punya fondasi bahasa yang kuat.

Chairil mempromosikan bahasa Indonesia, lantang menggunakannya yang saat itu hanya menjadi konsumsi publik terbatas. Lewat puisi-puisinya, ia memelihara satu-satunya faktor pemersatu jutaan orang Indonesia dari Sabang sampai Merauke selain mitos kesamaan nasib dijajah Belanda : Bahasa Indonesia. Lantas mengapa Chairil tidak bisa menjadi pahlawan?

Pun begitu ketika kita menyoal yurisprudensi terpilihnya sastrawan sebagai pahlawan nasional, Forum Inisiator Pengusulan Chairil Anwar menjadi Pahlawan Nasional mengambil patokan, bahwa apabila WR Supratman dengan lagu Indonesia Raya saja mampu menjadi pahlawan, mengapa Chairil tidak?

Logika analogi tersebut mungkin masih bisa didebat, dengan misalnya mengatakan bahwa lagu Indonesia Raya menjadi lagu kebangsaan Indonesia dan masih digunakan hingga kini. Namun, apabila klaim Teeuw benar, bahwa Chairil menjadi pematang bahasa Indonesia, apa itu belum cukup?

Sastrawan pahlawan atau bukan?

Bahasa Indonesia menjadi jembatan bagi ribuan pulau, penghubung banyak lautan, dan penyambung segala perbedaan yang tumbuh di Indonesia. Bayangkan jika hingga saat ini, penggunaan bahasa Indonesia tidak dikonsumsi oleh seluruh kalangan. Bayangkan jika bahasa Indonesia hanya digunakan untuk masyarakat golongan atas. Bahkan, bayangkan jika tidak pernah ada bahasa Indonesia. Tentu kita tidak bisa menguasai dari Sabang sampai Merauke.

Namun, bayangkan jika bahasa Indonesia selalu digunakan. Bayangkan jika bahasa Indonesia dengan segala keunikan di dalamnya digunakan sebagai satu-satunya cara kita berkomunikasi dengan makhluk sosial lain. Tentu kita bisa menguasai dari Sabang sampai Merauke.

Karena bahasa Indonesia jiwanya bangsa Indonesia. Masih tidak percaya?

Apa yang menjadi tonggak awalnya kemerdekaan Indonesia? Tepat, proklamasi. Bahasa apa yang digunakan dalam proklamasi? Tidak perlu muluk-muluk bahkan perembugan proklamasi saja menggunakan bahasa Indonesia. Lantas bagaimana seluruh penjuru Indonesia tahu bahwa dirinya sudah merdeka? Di radio, di surat kabar, mereka memberitakannya. Sekali lagi dengan bahasa Indonesia. Berita itulah yang membuat mereka mengerti bahwa mereka akhirnya terlepas dari siksaan jasmani maupun rohani. Dan tidak dapat dipungkiri bahwa berita itu bisa dimengerti juga berkat bahasa Indonesia. Sebesar itulah jasa bahasa Indonesia yang sekarang bisa membuat kita bernapas mengambil oksigen sebanyak-banyaknya tanpa rasa takut akan terbunuh oleh senapan. Dan sebesar itu pula jasa para sastrawan yang berhasil mengembangkan layar bahasa Indonesia. Lantas mengapa sastrawan tidak bisa menjadi pahlawan?

Sastrawan pahlawan atau bukan?

Pasti masih ada satu pertanyaan yang mengganjal dalam pikiran, “Memang ada pahlawan yang dulunya sastrawan?” Bukannya tidak ada tapi kita yang menolak untuk tahu. Menolak untuk mengerti. Menolak untuk mempelajari. Banyak pahlawan besar yang memiliki latar belakang seorang sastrawan.

Abdul Moeis. Siapa yang tidak mengenal beliau? Beliau adalah aktivis dan politikus Minang. Tidak hanya itu, nama beliau juga dikenal sebagai sastrawan dan wartawan yang aktif pada masanya. Salah satu karyanya yang sangat mengangkasa adalah “Salah Asuhan” yang saat ini masih terus dibaca oleh masyarakat Indonesia. Novel tersebut dibuat di Garut, Jawa Barat, saat ia mengalami pengasingan di Agam, Sumatera Barat.

Amir Hamzah. Nama beliau juga masuk sebagai pahlawan Nasional. Latar belakang kehidupannya adalah seorang sastrawan angkatan Pujangga Baru. Gaya bahasanya sangat beranding terbalik dengan penulisan Chairil Anwar. Jika ia menulis puisi mengenai Tuhannya dengan perasaan rindu yang mengharu biru, maka Chairil justru menulis puisi “Gelanggang Kami Berperang”. Pun begitu pula dengan Muhammad Yamin. Sosok yang terpatri di pikiran warga Indonesia sebagai sosok politikus yang berdiri di baris depan juga turut berperan penting dalam proses pengembangan bahasa Indonesia. Salah satunya saat proses sumpah pemuda. Saat itu, angan keindonesiaan yang masih mengambang di angkasa menjadi lebih terealisasi. Sejak saat itu, Chairil meneruskan usaha Muhammad Yamin dengan menghidupkan bahasa Indonesia dalam puisi-puisinya.

Sastrawan pahlawan atau bukan?

Apakah kita masih ingin menutup mata dan telinga kita mengenai jasa sastrawan untuk bangsa Indonesia? Bukankah pahlawan yang sebenarnya adalah yang berjasa dan yang menghasilkan karya bagi kesejahteraan manusia?

Terkadang, jasa-jasa kecil yang kita anggap remeh sering kita lupakan. Bahkan tidak kita hiraukan sama sekali. Para sastrawan memang tidak muluk-muluk berdiri menentang penjajah, rela mati mengorbankan jiwanya, meninggalkan keluarganya yang menunggunya di rumah, dan merelakan perutnya berkali-kali tertusuk belati. Para sastrawan memang tidak muluk-muluk berdiri di depan semua orang menyampaikan orasinya mengenai kemerdekaan. Menyuarakan kebebasan. Para sastrawan memang tidak muluk-muluk duduk berjam-jam demi melakukan perjanjian, demi melakukan negosiasi dengan penjajah. Para sastrawan hanya melakukan sedikit dari kemampuannya. Setidaknya suatu hal kecil yang dilakukan para sastrawan yang bernama sastra mampu mengubah nasib bangsa Indonesia. Satu kata itu mampu menyatukan seantero negeri hingga seluk pelosoknya. Mampu menjadi jembatan bermil-mil lautan lepas di Indonesia. Satu hal kecil itu yang menyatukan serpihan daratan yang terpecah belah menjadi satu nama, Indonesia.

Sastrawan pahlawan atau bukan?

Pertanyaan itu memang masih terngiang di benak rakyat Indonesia. Jawabannya, jelas bisa iya atau bisa tidak. Dan satu-satunya yang menentukan adalah pandangan masing-masing rakyat Indonesia. Wacana pengangkatan sastrawan menjadi pahlawan nasional menuai pro dan kontra. Sebagian dari mereka yang belum memahami betul apa sesungguhnya definisi dari pahlawan mungkin akan menatap dengan sebelah mata. Namun, apabila pendapat tersebut dipaksakan, maka tidak ada hasilnya juga. Untuk apa dinobatkan sebagai pahlawan jika jauh di dalam jiwanya tidak menganggap pahlawan. Untuk apa dinobatkan sebagai pahlawan jika tidak menjadikannya sebagai panutan. Karena menjadi pahlawan lebih dari sekadar dipajang dan dipuja.

Sastrawan pahlawan atau bukan?



Penulis : Shafira Khalisa Hanun

XI MIPA 5

Tidak ada komentar:

Posting Komentar