Jumat, 05 Oktober 2018

Membanggakan Arwah Para Pahlawan, Dengan Merajut Kembali Sang Pusaka Yang Terkoyak


Imammoesastro Moehammad

“Mereka tidak mati. Hakikatnya mereka hidup, justru lebih dekat dengan Sang Kuasa.”

Demikianlah kata-kata sakral tersurat dalam naskah keabadian. Sebuah ungkapan yang menjelma dalam setiap hembusan nafas insan Pancasila, yang mengedepankan nilai-nilai ketuhanan. Para leluhur yang telah mendahului kita bukan berarti wafat dan mati. Begitu pula kepada para pahlawan kusuma bangsa, mereka tidak mati Bung, secara hakikat mereka tetap hidup dalam hiruk-pikuk kehidupan bangsa ini. Antara fakta dan legenda. Tetapi bukanlah sebuah opini, karena hal ini menyangkut kepercayaan dan keyakinan individu. Merupakan bagian dari keimanan setiap anak bangsa Indonesia.

Dalam Islam, diajarkan bahwa setiap orang merasakan kematian sebagai gerbang menuju alam kelanggengan. Bagi semua orang. Berbeda hukumnya, ketika yang wafat adalah orang-orang alim, para ulama, orang-orang berilmu, dan kalangan yang dekat dengan Tuhan. Kematian adalah sebuah proses kembali keharibaan Illahi. Dan dengannya, ummat Islam diajarkan berziarah kubur untuk mendoakan arwah para leluhur, sekaligus berziarah kepada para kekasih Illahi, yaitu para waliyullah dengan maksud ngalap berkah. Keimanan ini sangat kompleks dengan sebuah keyakinan bahwa para leluhur akan kembali pulang, pada malam Jumat untuk menengok anak cucunya dan menanti doa dari mereka, sebuah penghormatan yang luhur.

Agama Kristen, Protestan, Katolik, Hindu, Buddha dan Konghucu. Mempunyai cara tersendiri dalam menghormati leluhur mereka. Makam para leluhur dibangun besar dan megah, guna memberikan tempat istirahat terakhir yang layak bagi para leluhur. Kepercayaan Konghucu ditambah dengan membakar berbagai miniatur dari kertas, yang diyakini akan menemani para leluhur di alamnya. Agama Hindu dan Budha, mempersembahkan bermacam sesaji kubur kepada para leluhur, mereka diperintahkan untuk melantunkan doa-doa kubur. Dan semua agama mengajarkan anak bangsa untuk senantiasa mendoakan para leluhur.

Terasa lengkap sekali penghormatan bangsa ini. Bermacam-ragam suku bangsa, mempunyai adat yang berbeda-beda untuk menghormati leluhurnya. Dari Melayu, Jawa, Samin, Dayak, Bali, Sasak, Asmat, sampai Suku Toraja yang sangat menghormati leluhurnya dalam setiap seluk-beluk aktivitas kehidupannya. Sebuah amanat yang termandat kepada anak-anak bangsa untuk menghormati leluhur bangsa. Siapa leluhur bangsa kita Bung? Siapa beliau-beliau itu? mereka adalah para pahlawan. Seluruh insan patriotik yang telah mengawali adanya bangsa ini. Para pahlawan, dari semua masa. Sejak masa prakolonial yang melahirkan raja-raja hebat di atas tanah Nusantara. Masa kolonial awal yang melahirkan sosok-sosok raja pembela rakyat yang masyhur; Sultan Hasanuddin, Sultan Nuku, Sultan Baabullah, dan segudang tokoh hebat pada masa ini. Awal kebangkitan persatuan nasional, yang memunculkan banyak tokoh; Sultan Agung Honyokrokusumo, Pangeran Diponegoro, Sisingamangaraja XII, Imam Bonjol, dan sekawanan pahlawan hebat lain. Masa perjuangan modern, yang melahirkan banyak tokoh-tokoh intelektual; RA. Kartini, Dr. Soetomo, Ki Hajar Dewantara, WR. Soepratman, KHA. Dahlan, KH. Hasyim Asy’ari, Soekarno, Hatta, Sugondo Joyopuspito, Moh. Yamin, dan ribuan tokoh lainnya. Belum lagi, para pejuang di masa revolusi kemerdekaan dan pahlawan perebut dan pemertahan kemerdekaan yang tak mungkin secuil kertas ini sanggup menyebutkan asma karim mereka.

Merekalah leluhur kita, pendahulu dan pencipta bangsa Indonesia. Merekalah sosok-sosok yang senantiasa hidup dalam kehidupan berbangsa bernegara. Mereka adalah leluhur bangsa, yang akan selalu hidup dalam setiap hembusan napas bangsa Indonesia. Mereka hidup. Walau jasad mulianya telah membujur kaku, namun mereka selalu ada dalam asa anak bangsa.

Mereka adalah pahlawan. Mereka bukanlah sembarang orang. Setiap dari pahlawan itu telah mati, namun kematian mereka adalah proses untuk lebih dekat dengan Tuhan. Mereka belum mati. Berjuta pengorbanan mulia yang dikorbankan untuk bangsa ini, membuat mereka tetap hidup. Dan ingatlah Bung, setiap dari mereka adalah hamba-hamba Tuhan yang tulus berjuang. Buka kembali lembaran sejarah mereka, tapaklah bekas langkah dan derap kaki mereka. Mereka adalah hamba yang dekat dengan Tuhan. Dari kalangan islami, hampir semua pejuang adalah tokoh agama, pemuka agama, atau setidaknya mempunyai kedekatan yang luar biasa dengan Tuhan. Panglima Soedirman adalah santri yang selalu menjaga wudlu dan sholatnya. Dari kalangan Kristiani, tak sedikit para pendeta yang membela kemerdekaan bangsa ini. Letjend. TB. Simatupang adalah satu di antara agamawan taat yang memberi sumbangsih besar bagi bangsa ini. Laksamana Yos Sudarso yang rela menenggelamkan diri dan KRI Macan Tutul demi membela martabat bangsa Indonesia. Agamawan Hindu, ada sosok hebat I Gusti Ngurah Rai yang memimpin Puputan Margarana yang maha dahsyat. Sosok I Gusti Ketut Puja yang memberi peran terbaiknya untuk Indonesia.

Berbagai perbedaan melatarbelakangi para pahlawan. Dari agama yang berbeda, suku bangsa, daerah yang beragam, bahasa yang berbeda, dan ribuan perbedaan lain. Namun hal itu tidak membuat mereka bermusuhan, ber-etnosentris dengan kemauan dan ambisi masing-masing untuk mendirikan negara daerah. Mereka membingkai manis keberagaman bangsa kita dengan semangat persatuan bersama, sama-sama berjuang dalam satu naungan Indonesia Raya. Kalau boleh dibilang; keberagaman Nusantara sejak dulu, adalah sebuah keniscayaan yang ditakdirkan untuk menjadi negara besar Indonesia Raya. Dan sebuah keniscayaan itu adalah: PERSATUAN. Para pahlawan telah berhasil membuktikan bahwa persatuan adalah the home of power, sumber kekuatan Bangsa Indonesia.

Persatuan, adalah kekuatan dahsyat yang menjadi sebab adanya bangsa Indonesia. Para pahlawan berkorban di atas tujuan bersama, mencapai bangsa yang bersatu. Ingatkah kau Bung? Seorang Sugondo Joyopuspito, seorang pemuda Jawa yang menjalin hubungan persatuan dengan seorang Moh. Yamin, seorang Minang tulen, dilengkapi dengan seorang Yohannes Leimena seorang Ambon Manise. Persatuan mereka begitu kuat dan terjalin pada setiap insan muda Nusantara. Persatuan yang menjulur ke seantero Nusantara. Bayangkan saja, betapa dahsyat dan hebatnya mereka. Pada era itu, tahun 1928-an di mana teknologi informasi sangat terbatas. Transportasi masih sangat sulit. Namun, dengan kekuatan persatuan inilah para pemuda melahurkan Sumpah Pemuda 1928, yang berbuah manis Kemerdekaan 1945.

Dan pertanyaan untuk kita bung! Di tengah keyakinan semua anak bangsa, bahwa para pahlawan masih hidup di antara kita, Apakah persatuan yang dirajut para pahlawan itu masih mendarah daging sebagai kepribadian kita? Persatuan kita kian terpuruk. Baru-baru ini, insiden memalukan harkat persatuan bangsa terjadi. Hanya sebuah kebanggaan membela tim sepakbola, menumpahkan darah seorang anak bangsa. Tak peduli pihak manapun yang terlibat, siapapun yang diklaim bersalah, kejadian ini sangat memalukan. Insiden ini meluruhkan karisma sang dwiwarna yang dirajut dengan semangat persatuan. Hanyalah sebuah etnosentris dan solidaritas antargolongan, yang merongrong wibawa bangsa.

Bukanlah kejadian pertama, kericuhan dan keributan dalam kehidupan bangsa ini. Berjuta-juta konflik telah terjadi melukai ikatan persatuan anak-anak bangsa. Konflik vertikal, horizontal, dan konflik multikultural kelas rendah sampai kelas kakap bukan hal yang asing lagi. Pada era orla dulu, paham komunis hampir merongrong wibawa Pancasila, dilanjutkan konflik antarsuku dan etnis; Tragedi Sampit, Mei Kelabu, Peristiwa Ambon, Tragedi Tolikara, dan segudang konflik lain.

Betapa terpukulnya para pahlawan itu! Mereka hidup di tengah kita, dan berapa banyak perpecahan yang sudah kita perbuat. Apakah tidak malu! Ketahuilah, betapa tersakitinya seorang Soekarno sebagai penyambung lidah rakyat, mengetahui pengorbanannya dipecah oleh onggokan udara hampa penuh dusta; Hoax. Betapa tersakitinya para pahlawan itu. Persatuan yang telah terwujud menjadi bangsa besar ini, terberai begitu saja.

Sudahilah bung! Hentikan! Mari kita banggakan arwah para pahlawan dengan merajut kembali sang pusaka dwiwarna yang terlanjur terkoyak. Ayo kita terbangkan Sang Garuda di angkasa raya. Galakkan persatuan, banggakan arwah para pahlawan!



Penulis : Mastri Imammusaddin



XI IIS 2

Tidak ada komentar:

Posting Komentar