Jumat, 05 Oktober 2018

Fenomena Bahasa Jaksel sebagai Pengaruh Globalisasi


Indonesia merupakan bangsa multikultural, yang terdiri dari 17.000 pulau dengan lebih dari 1211 bahasa yang digunakan masyarakat Indonesia sehari-hari. Sebagai identitas nasional dan pemersatu bangsa, pada tanggal 18 Agustus 1945, bahasa Indonesia diresmikan sebagai bahasa negara. Keputusan ini bukan tanpa alasan, karena penggunaan bahasa daerah yang beragam di Indonesia berpotensi menyebabkan perpecahan bangsa apabila tidak direkatkan dengan satu bahasa nasional yaitu bahasa Indonesia.

Dewasa ini, di tengah masyarakat, ada fenomena yang hangat diperbincangkan baik oleh warganet maupun warga biasa. Mendadak, fenomena bahasa Jaksel atau bahasa anak Jakarta Selatan menjadi sorotan karena unik dan terkesan lucu sebagai bahan candaan sehari-hari. Bahasa Jaksel sendiri adalah penggunaan bahasa Indonesia yang dicampur-campur dengan bahasa Inggris sehingga menjadi unik dan lucu. Kata-kata seperti which is, literally, sampai basically menjadi tren untuk dicuitkan di laman Twitter oleh warganet Twitter. Dikutip dari Kompas.com pada Jumat (21/9/2018), situs Spredfast mencatat ada lebih dari 52.000 cuitan mengenai "anak Jaksel" ataupun cuitan dengan tagar #anakjaksel di Twitter dalam 2 minggu pertama di bulan September. Hal ini membuktikan betapa antusias warganet menyambut fenomena unik tentang gaya bahasa kekinian.

Lantas, apakah bahasa Indonesia terancam tergeser dengan popularitas kosakata bahasa Inggris yang dinilai lebih kekinian dan bersifat bebas daripada bahasa Indonesia? Arus globalisasi yang kian deras menyebabkan potensi budaya lokal, termasuk bahasa menjadi tergerus. Budaya barat yang semakin mendesak masuk akan mempengaruhi banyak aspek di bangsa Indonesia. Anak bangsa lah yang menjadi imbas pertama dalam pengaruh globalisasi. Sifat mereka yang cenderung terus berubah dan mengikuti gaya atau tren di dunia internasional terus berlanjut seiring proses globalisasi.

Terbukti dari fenomena gaya bahasa Jaksel yang dianggap kekinian sebagai bahasa sehari-hari anak muda di kota-kota besar di Indonesia. Bahasa Indonesia yang harusnya menjadi perekat bangsa bisa jadi tenggelam dalam arus westernisasi. Sementara budaya lokal juga mulai ditinggalkan untuk mengikuti pola kehidupan masyarakat barat. Pemuda seharusnya menjadi calon-calon penerus generasi emas negara Indonesia dengan tetap memegang teguh bahasa dan budaya bangsa Indonesia serta tidak gentar memilah budaya asing yang masuk ke Indonesia. Untuk menyikapi fenomena bahasa Jaksel sendiri adalah, tetap mengutamakan bahasa Indonesia, menguasai bahasa daerah, dan tidak lupa mempelajari bahasa asing.



Penulis : Hanif

XI IIS 1

Tidak ada komentar:

Posting Komentar