Indonesia merupakan bangsa multikultural, yang
terdiri dari 17.000 pulau dengan lebih dari 1211 bahasa yang digunakan
masyarakat Indonesia sehari-hari. Sebagai identitas nasional dan pemersatu
bangsa, pada tanggal 18 Agustus 1945, bahasa Indonesia diresmikan sebagai
bahasa negara. Keputusan ini bukan tanpa alasan, karena penggunaan bahasa
daerah yang beragam di Indonesia berpotensi menyebabkan perpecahan bangsa
apabila tidak direkatkan dengan satu bahasa nasional yaitu bahasa Indonesia.
Dewasa ini, di tengah masyarakat, ada fenomena yang
hangat diperbincangkan baik oleh warganet maupun warga biasa. Mendadak,
fenomena bahasa Jaksel atau bahasa anak Jakarta Selatan menjadi sorotan karena unik
dan terkesan lucu sebagai bahan candaan sehari-hari. Bahasa Jaksel sendiri
adalah penggunaan bahasa Indonesia yang dicampur-campur dengan bahasa Inggris
sehingga menjadi unik dan lucu. Kata-kata seperti which is, literally, sampai basically
menjadi tren untuk dicuitkan di laman Twitter oleh warganet Twitter. Dikutip
dari Kompas.com pada Jumat (21/9/2018), situs Spredfast mencatat ada lebih dari
52.000 cuitan mengenai "anak Jaksel" ataupun cuitan dengan tagar
#anakjaksel di Twitter dalam 2 minggu pertama di bulan September. Hal ini
membuktikan betapa antusias warganet menyambut fenomena unik tentang gaya
bahasa kekinian.
Lantas, apakah bahasa Indonesia terancam tergeser
dengan popularitas kosakata bahasa Inggris yang dinilai lebih kekinian dan
bersifat bebas daripada bahasa Indonesia? Arus globalisasi yang kian deras
menyebabkan potensi budaya lokal, termasuk bahasa menjadi tergerus. Budaya
barat yang semakin mendesak masuk akan mempengaruhi banyak aspek di bangsa
Indonesia. Anak bangsa lah yang menjadi imbas pertama dalam pengaruh
globalisasi. Sifat mereka yang cenderung terus berubah dan mengikuti gaya atau
tren di dunia internasional terus berlanjut seiring proses globalisasi.
Terbukti dari fenomena gaya bahasa Jaksel yang
dianggap kekinian sebagai bahasa sehari-hari anak muda di kota-kota besar di
Indonesia. Bahasa Indonesia yang harusnya menjadi perekat bangsa bisa jadi
tenggelam dalam arus westernisasi. Sementara budaya lokal juga mulai
ditinggalkan untuk mengikuti pola kehidupan masyarakat barat. Pemuda seharusnya
menjadi calon-calon penerus generasi emas negara Indonesia dengan tetap
memegang teguh bahasa dan budaya bangsa Indonesia serta tidak gentar memilah
budaya asing yang masuk ke Indonesia. Untuk menyikapi fenomena bahasa Jaksel
sendiri adalah, tetap mengutamakan bahasa Indonesia, menguasai bahasa daerah,
dan tidak lupa mempelajari bahasa asing.
Penulis : Hanif
XI IIS 1
Tidak ada komentar:
Posting Komentar