Rabu, 20 Maret 2019

Puisi 1

Malam Si Kucing Manis 
karya Aida Amalia Kurniadi

Bintang masih belum redup
Tapi tetua menurunkan tirai
Di tengah angin bersuara sayup
Di pinggir ladang berakar tunggang
Ini bukan pilihan! 
Ini jalan! 

Burung hantu tak mengganggu
Tapi tetua menutup telinga
Merasa tidak nyaman
Padahal sang saka telah bebas mengudara
Awan tak menghalangi pandangan
Air mendidih di tepi danau

Emosi meluap bagai terbakar
Tak ada yang bisa hentikan
Itu salah Anda jika ia marah
Itu salah Anda jika ia mengangkat kepala
Anda ganggu Kucing Manis yang lelap
Lupa cakarnya mampu mengoyak wajah dan tubuh

Bukan karena ia terganggu
Anda mengacau tanah majikannya
Ia adalah penjaga tanah yang setia
Darah pun siap ia tumpahkan
Kini Anda nekat menerobos rusuh
Maka nadi lah imbalannya

Bintang masih belum redup 
Bukan "belum", tapi "tak akan" 
Pengorbanan dibalas pengorbanan 
Prestasi mereka yang tumbang tak sia-sia
Kucing Manis mengingat sebuah petuah
"Kesetiaan melawan kemusnahan"

Angin sayup mengudara
Kirimkan sejuta kata bermakna
Pembacaan telah menyebar, Bung! 
Kami berdiri dalam damai sebelumnya 
Ingatkah "perikemanusiaan"? 
Atau lebih baik Anda mempelajari "perikehewanan"? 

Bintang masih tak akan redup
Kucing Manis menggenggam kunci 
Anda berusaha mengambilnya 
Ketahuilah, 
Anda tak akan bisa! 
Masa depan negeri kami 
Cakar-cakar si Kucing Manis! 

Senin, 18 Maret 2019

Haiku 1

Haiku 
Aqilla Zahra Prayojana Putri

Lapangan hijau,
orang-orang berbaris,
di hari Senin.

Jumat, 05 Oktober 2018

Keteladanan Pahlawan Kunci Kokohnya Persatuan Negeri


            Indonesia adalah negara yang memiliki keberagaman budaya dan bahasa. Pada awalnya tidaklah mudah untuk mempersatukan keberagaman tersebut menjadi suatu bhineka tunggal ika. Walau tak mudah, para pahlawan tidak berputus asa dalam mempersatukan keberagaman tersebut demi memperjuangkan tanah air. Kini, Indonesia telah menjadi negara multikultural yang merdeka berkat perjuangan para pahlawan. Meneladani pahlawan adalah menerapkan kebaikan-kebaikan mereka untuk menghargai dan mempertahankan apa yang diperjuangkannya supaya semua perjuangan yang telah berbuah manis itu menjadi tidak sia-sia. Penerapan ataupun peneladanan ini dapat memperkokoh persatuan yang telah diperjuangkan menjadi lebih kuat. Peneladanan ini memberikan pencerminan dari rasa cinta tanah air dan rasa bangga terhadap adanya persatuan dari berbagai perbedaan tersebut.

Pahlawan adalah pejuang kemerdekaan dan pemersatu bangsa. Dari definisi tersebut dapat diketahui bahwa pahlawan telah menyadarkan bangsa Indonesia atas pentingnya menghargai persatuan. Dengan bukti dan keterangan bahwa pahlawan merupakan faktor kuat adanya persatuan di Indonesia, memberikan kesadaran bagi generasi bangsa akan pentingnya menjalin rasa solidaritas sebagai warga negara Indonesia. Maka, kesadaran itulah yang membawa rakyat Indonesia meneladani pahlawan-pahlawan.

Pada dasarnya, peneladanan pahlawan telah menjadi sikap dari bangsa Indonesia sejak mereka menemui perbedaan-perbedaan dan mengetahui segala pengorbanan para pahlawan di masa lalu. Banyak contoh nyata dari penerapan peneladanan ini, seperti adanya penolakan terhadap upaya separatisme di beberapa wilayah Indonesia. Hal ini dapat dikatakan bahwa rakyat Indonesia merasa, jika tidak ada persatuan, maka tidak akan ada Indonesia. Kenyataan bahwa Indonesia terbangun dari segala perbedaan yang menyatu, membuat perbedaan tersebut menjadi hal yang indah dan serasi yang tidak dimiliki oleh negara manapun di dunia.

Kesadaran akan berharganya jasa pahlawan menanamkan rasa peduli pada generasi bangsa terhadap persatuan negeri. Rasa peduli dan menghargai ini yang dibutuhkan dalam memperkuat persatuan dan kesatuan Indonesia. Rasa peduli dan menghargai memberikan kekuatan bagi negeri ini untuk terus mempertahankan keanekaragaman antara satu budaya dengan budaya lainnya.

Jasa dan pengorbanan pahlawan bagaikan akar sebuah pohon yang menjadi titik awal dari segala kesatuan. Sedangkan, keteladanan pahlawan adalah proses menjalarnya akar untuk menjadi tumpuan dari sebuah pohon supaya seiring berjalannya waktu pohon tersebut dapat tumbuh dan berkembang menjadi sebuah pohon besar yang kokoh dan kuat. Dari ilustrasi tersebut dapat dipahami bahwa keteladanan pahlawan merupakan faktor internal terkuat dari memperkokoh persatuan yang telah dijalin dan diperjuangkan selama ini. Memperkokoh persatuan di Indonesia hanya dapat dilakukan oleh rakyat Indonesia sendiri. Dari dalam hati, rasa cinta tanah air dan kebanggaan akan persatuan yang tidak bisa ditemukan di manapun membuat generasi bangsa merasa bahwa menjaga tanah air dan persatuannya merupakan kewajiban mereka sebagai penerus bangsa untuk meneruskan perjuangan para pahlawan dalam menciptakan masa depan yang gemilang bagi Indonesia.



Penulis : Aida Amalia Kurniadi

XI IBB

Pejuang Sastra


Sastra berarti tulisan. Sastrawan berarti orang yang ahli dalam sastra. Banyak sekali sastrawan di Indonesia yang sudah menerbitkan karya-karyanya. Mereka adalah Andrea Hirata, Pramoedya Ananta Toer, Chairil Anwar, Taufiq Ismail, dan lain-lain. Bisakah kita sebut mereka sebagai pahlawan? Bisa. Pahlawan berarti pejuang. Bentuk-bentuk perjuangan pahlawan tidak harus berbentuk fisik seperti perang. Pejuang sastra pun bisa disebut pahlawan. Mereka merupakan pahlawan bagi Indonesia dalam bidang sastra.

Julukan atau gelar pahlawan tidak hanya diberikan kepada orang yang telah berjuang memerdekakan Indonesia, seperti Ir.Soekarno, Jendral Ahmad Yani atau Jendral Sudirman. Namun, gelar pahlawan ini bisa kita beri kepada sastrawan yang berjuang dalam bidang sastra. Perjuangan mereka tidak begitu nampak dari luar, tetapi mereka adalah hal yang berharga bagi Indonesia. Mereka berjuang membuat karya-karya dalm bentuk tulisan. Mereka berjuang merangkai kata-kata dengan indah yang kemudian dipublikasikan ke seluruh masyarakat Indonesia.

Sastra juga bisa diartikan bahasa. Orang yang menggeluti bidang sastra pasti akan bertemu dengan dua hal, pertama karya satra dan kedua tata bahasa. Indonesia memiliki bahasa persatuan yaitu bahasa Indonesia. Orang-orang yang tergabung di dalam sastra berarti sama saja dengan memperjuangkan bahasanya sendiri, yaitu bahasa Indonesia.

Karya sastra memiliki peran penting dalam penulisan sejarah Indonesia modern. Sebut saja karya pengarang besar Multatuli yang memotret sistem tanam paksa di abad ke-19 dan karya kenamaan Indonesia, Pramoedya Ananta Toer yang lahir di abad ke-20. Kendati berbeda zaman, kedua karya pengarang besar itu memiliki karakter yang sama, yakni antikolonialisme. Terutama di dalam melakukan kritik terhadap sistem kolonial yang menindas dan memotret peristiwa faktual yang terjadi pada masanya. Di luar hal itu, karya sastra tersebut memiliki daya dorong terhadap perubahan sistem masyarakat.

Menurut saya pada intinya sastrawan tetap merupakan pahlawan bagi negaranya. Memang benetuk perjuangannya tidak nampak, tetapi peranan mereka sama pentingnya dengan pahlawan yang berjuang dengan fisik. Lagipula pada saat penjajahan pun beberapa pahlawan di Indonesia menggunakan sastra sebagai media atau senjata untuk melawan penjajah.



Penulis : Chika Kartika Khairunisa

XI IBB

Persaudaraan Untuk Kebangkitan


Indonesia merupakan negara kepulauan yang berciri Nusantara dengan beribu pulau ada di dalamnya. Oleh sebab itu, tidak dipungkiri jika bangsa Indonesia memiliki beribu pula kebudayaan yang beragam. Keberagaman ini merupakan ciri khas yang dimiliki oleh bangsa Indonesia, mulai dari agama, suku, ras, adat istiadat, etnis, bahasa, dan keberagaman lainnya. Keberagaman itulah yang menjadikan Indonesia semakin kuat apabila perbedaan yang ada dapat diatasi dengan toleransi yang tinggi. Oleh sebab itu, perlu adanya wawasan Nusantara dan rasa persaudaraan untuk mempersatukan keragaman budaya bangsa.

Berbagai keragaman yang berasal dari daerah-daerah yang berbeda akan mendorong terciptanya berbagai khas bahasa yang dimiliki oleh daerah tersebut. Seperti bahasa jawa, bahasa sunda, bahasa minang, dan beribu bahasa lainnya. Dengan adanya bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional yang mampu mempersatukan berbagai bahasa daerah di Indonesia akan memperkuat ikatan persaudaraan dalam satu bangsa.

            Keberagaman yang ada di Indonesia dapat disebabkan oleh fakor geografis karena daerah Indonesia berupa kepulauan yang wilayah satu dengan yang lainnya berbatasan dengan selat dan laut. Dengan adanya wilayah yang berbeda maka akan berbeda pula kebudayaan yang ada di wilayah itu. Selain itu, fakor pencahariannya pun pasti berbeda yang menyebabkan berbeda pula kebudayaan yang ada di dalamnya. Letak yang srategis juga berpengaruh pada budaya-budaya asing yang masuk sehingga tidak dipungkiri bahwa keberagaman bangsa semakin bertambah. Bertambahnya keragaman budaya ini juga memungkinkan bertambahnya konflik sara yang ada di Indonesia.



            Konflik yang terjadi di masyarakat dapat menyebabkan perpecahan bagi bangsa Indonesia. Konflik yang sering terjadi pada umumnya disebabkan oleh primordialisme yang berkembang menjadi etnosentrisme dan fanatisme. Mereka merasa bahwa kebudayaannyalah yang paling baik dan paling benar sehingga terjadi pergolakan bahkan bentrokan antara kebudayaan yang satu dengan yang lain. Hal inilah yang perlu dihindari agar bangsa Indonesia tetap utuh dan aman. Karena jika tidak dijaga, dipertahankan, dan dikelola akan menjadikan malapetaka.



            Pemerintah juga telah menjamin masyarakat untuk memelihara kebudayaannya masing masing karena keberagaman tersebut merupakan kekayaan yang ada di Indonesia. Hal tersebut tercantum dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 32 Ayat (1) tentang Negara Memajukan Kebudayaan Nasional Indonesia di Tengah Peradaban Dunia Dengan Menjamin Kebebasan Masyarakat Dalam Memelihara dan Mengembangkan Nilai-Nilai Budayanya. Dengan begitu masyarakat berhak memajukan kebudayaan, melestarikan tradisi, dan mengembangkan adat budaya masyarakat tanpa ada rasa tertekan. Dengan adanya keragaman suku bangsa, budaya, agama ras dan etnik kita patut berbangga karena keragaman itu merupakan kekayaan bangsa yang tak ternilai harganya.



                    Namun, dengan adanya laju globalisasi dan masuknya budaya luar dapat menyebabkan rusaknya moral dan etika yang akhirnya menimbulkan degradasi budaya. Nilai-nilai adat-istiadat yang terkandung di dalam Pancasila seperti budaya ramah tamah, gotong royong, musyawarah mufakat pun sudah luntur dan tergeser. Bahkan beberapa kebudayaan kita sempat diklaim atau diakui sebagai budaya asli bangsa lain seperti halnya batik dan kebudayaan lainnya. Karya anak bangsa pun juga banyak yang diklaim oleh bangsa lain.



            Untuk memelihara dan menjaga eksisitensi kebudayaan bangsa kita, kita bisa melakukan banyak hal seperti mengadakan lomba-lomba dan seminar-seminar yang manyangkut kebudayaan nasional sehigga akan terjagalah kebudayaan kita dari keterpurukan karena persaingan dengan budaya luar. Selain itu perlunya sikap dan paham yang dapat menikis kesalahpahaman dan membangun benteng saling pengertian. Untuk melakukan semua itu perlu adanya rasa persaudaraan dan persatuan yang tertanam di benak seluruh elemen dalam masyarakat.



            Rasa persaudaraan ini dapat tercapai jika kita memaknai Bhineka Tunggal Ika yang menjadi semboyan bangsa kita. Kebhinekaan harus dipahami sebagai sebuah kekuatan pemersatu bangsa yang keberadaannya tidak bisa dipungkiri. Kebhinekaan juga harus dimaknai sebagai sebuah keragaman yang mempersatukan, menerima perbedaan sebagai sebuah kekuatan, bukan sebagai ancaman atau gangguan. Semua budaya, agama dan suku yang ada tetap pada bentuknya masing-masing, dimana semua itu yang mempersatukannya  adalah rasa nasionalisme dan kebanggaan sebagai bagian dari bangsa Indonesia. Kebhinekaan adalah tonggak pemersatu bangsa yang harus dipandang dengan kebanggaan, kebanggaan karena kita adalah bangsa yang majemuk, bangsa yang beragam, bangsa yang memiliki ribuan pulau dan ribuan budaya yang berbeda, yang mana sekalipun demikian, namun kita tetap satu jua “Bhineka Tunggal Ika”.



Penulis: Rahma Yuninda

XI IIS 2

Membanggakan Arwah Para Pahlawan, Dengan Merajut Kembali Sang Pusaka Yang Terkoyak


Imammoesastro Moehammad

“Mereka tidak mati. Hakikatnya mereka hidup, justru lebih dekat dengan Sang Kuasa.”

Demikianlah kata-kata sakral tersurat dalam naskah keabadian. Sebuah ungkapan yang menjelma dalam setiap hembusan nafas insan Pancasila, yang mengedepankan nilai-nilai ketuhanan. Para leluhur yang telah mendahului kita bukan berarti wafat dan mati. Begitu pula kepada para pahlawan kusuma bangsa, mereka tidak mati Bung, secara hakikat mereka tetap hidup dalam hiruk-pikuk kehidupan bangsa ini. Antara fakta dan legenda. Tetapi bukanlah sebuah opini, karena hal ini menyangkut kepercayaan dan keyakinan individu. Merupakan bagian dari keimanan setiap anak bangsa Indonesia.

Dalam Islam, diajarkan bahwa setiap orang merasakan kematian sebagai gerbang menuju alam kelanggengan. Bagi semua orang. Berbeda hukumnya, ketika yang wafat adalah orang-orang alim, para ulama, orang-orang berilmu, dan kalangan yang dekat dengan Tuhan. Kematian adalah sebuah proses kembali keharibaan Illahi. Dan dengannya, ummat Islam diajarkan berziarah kubur untuk mendoakan arwah para leluhur, sekaligus berziarah kepada para kekasih Illahi, yaitu para waliyullah dengan maksud ngalap berkah. Keimanan ini sangat kompleks dengan sebuah keyakinan bahwa para leluhur akan kembali pulang, pada malam Jumat untuk menengok anak cucunya dan menanti doa dari mereka, sebuah penghormatan yang luhur.

Agama Kristen, Protestan, Katolik, Hindu, Buddha dan Konghucu. Mempunyai cara tersendiri dalam menghormati leluhur mereka. Makam para leluhur dibangun besar dan megah, guna memberikan tempat istirahat terakhir yang layak bagi para leluhur. Kepercayaan Konghucu ditambah dengan membakar berbagai miniatur dari kertas, yang diyakini akan menemani para leluhur di alamnya. Agama Hindu dan Budha, mempersembahkan bermacam sesaji kubur kepada para leluhur, mereka diperintahkan untuk melantunkan doa-doa kubur. Dan semua agama mengajarkan anak bangsa untuk senantiasa mendoakan para leluhur.

Terasa lengkap sekali penghormatan bangsa ini. Bermacam-ragam suku bangsa, mempunyai adat yang berbeda-beda untuk menghormati leluhurnya. Dari Melayu, Jawa, Samin, Dayak, Bali, Sasak, Asmat, sampai Suku Toraja yang sangat menghormati leluhurnya dalam setiap seluk-beluk aktivitas kehidupannya. Sebuah amanat yang termandat kepada anak-anak bangsa untuk menghormati leluhur bangsa. Siapa leluhur bangsa kita Bung? Siapa beliau-beliau itu? mereka adalah para pahlawan. Seluruh insan patriotik yang telah mengawali adanya bangsa ini. Para pahlawan, dari semua masa. Sejak masa prakolonial yang melahirkan raja-raja hebat di atas tanah Nusantara. Masa kolonial awal yang melahirkan sosok-sosok raja pembela rakyat yang masyhur; Sultan Hasanuddin, Sultan Nuku, Sultan Baabullah, dan segudang tokoh hebat pada masa ini. Awal kebangkitan persatuan nasional, yang memunculkan banyak tokoh; Sultan Agung Honyokrokusumo, Pangeran Diponegoro, Sisingamangaraja XII, Imam Bonjol, dan sekawanan pahlawan hebat lain. Masa perjuangan modern, yang melahirkan banyak tokoh-tokoh intelektual; RA. Kartini, Dr. Soetomo, Ki Hajar Dewantara, WR. Soepratman, KHA. Dahlan, KH. Hasyim Asy’ari, Soekarno, Hatta, Sugondo Joyopuspito, Moh. Yamin, dan ribuan tokoh lainnya. Belum lagi, para pejuang di masa revolusi kemerdekaan dan pahlawan perebut dan pemertahan kemerdekaan yang tak mungkin secuil kertas ini sanggup menyebutkan asma karim mereka.

Merekalah leluhur kita, pendahulu dan pencipta bangsa Indonesia. Merekalah sosok-sosok yang senantiasa hidup dalam kehidupan berbangsa bernegara. Mereka adalah leluhur bangsa, yang akan selalu hidup dalam setiap hembusan napas bangsa Indonesia. Mereka hidup. Walau jasad mulianya telah membujur kaku, namun mereka selalu ada dalam asa anak bangsa.

Mereka adalah pahlawan. Mereka bukanlah sembarang orang. Setiap dari pahlawan itu telah mati, namun kematian mereka adalah proses untuk lebih dekat dengan Tuhan. Mereka belum mati. Berjuta pengorbanan mulia yang dikorbankan untuk bangsa ini, membuat mereka tetap hidup. Dan ingatlah Bung, setiap dari mereka adalah hamba-hamba Tuhan yang tulus berjuang. Buka kembali lembaran sejarah mereka, tapaklah bekas langkah dan derap kaki mereka. Mereka adalah hamba yang dekat dengan Tuhan. Dari kalangan islami, hampir semua pejuang adalah tokoh agama, pemuka agama, atau setidaknya mempunyai kedekatan yang luar biasa dengan Tuhan. Panglima Soedirman adalah santri yang selalu menjaga wudlu dan sholatnya. Dari kalangan Kristiani, tak sedikit para pendeta yang membela kemerdekaan bangsa ini. Letjend. TB. Simatupang adalah satu di antara agamawan taat yang memberi sumbangsih besar bagi bangsa ini. Laksamana Yos Sudarso yang rela menenggelamkan diri dan KRI Macan Tutul demi membela martabat bangsa Indonesia. Agamawan Hindu, ada sosok hebat I Gusti Ngurah Rai yang memimpin Puputan Margarana yang maha dahsyat. Sosok I Gusti Ketut Puja yang memberi peran terbaiknya untuk Indonesia.

Berbagai perbedaan melatarbelakangi para pahlawan. Dari agama yang berbeda, suku bangsa, daerah yang beragam, bahasa yang berbeda, dan ribuan perbedaan lain. Namun hal itu tidak membuat mereka bermusuhan, ber-etnosentris dengan kemauan dan ambisi masing-masing untuk mendirikan negara daerah. Mereka membingkai manis keberagaman bangsa kita dengan semangat persatuan bersama, sama-sama berjuang dalam satu naungan Indonesia Raya. Kalau boleh dibilang; keberagaman Nusantara sejak dulu, adalah sebuah keniscayaan yang ditakdirkan untuk menjadi negara besar Indonesia Raya. Dan sebuah keniscayaan itu adalah: PERSATUAN. Para pahlawan telah berhasil membuktikan bahwa persatuan adalah the home of power, sumber kekuatan Bangsa Indonesia.

Persatuan, adalah kekuatan dahsyat yang menjadi sebab adanya bangsa Indonesia. Para pahlawan berkorban di atas tujuan bersama, mencapai bangsa yang bersatu. Ingatkah kau Bung? Seorang Sugondo Joyopuspito, seorang pemuda Jawa yang menjalin hubungan persatuan dengan seorang Moh. Yamin, seorang Minang tulen, dilengkapi dengan seorang Yohannes Leimena seorang Ambon Manise. Persatuan mereka begitu kuat dan terjalin pada setiap insan muda Nusantara. Persatuan yang menjulur ke seantero Nusantara. Bayangkan saja, betapa dahsyat dan hebatnya mereka. Pada era itu, tahun 1928-an di mana teknologi informasi sangat terbatas. Transportasi masih sangat sulit. Namun, dengan kekuatan persatuan inilah para pemuda melahurkan Sumpah Pemuda 1928, yang berbuah manis Kemerdekaan 1945.

Dan pertanyaan untuk kita bung! Di tengah keyakinan semua anak bangsa, bahwa para pahlawan masih hidup di antara kita, Apakah persatuan yang dirajut para pahlawan itu masih mendarah daging sebagai kepribadian kita? Persatuan kita kian terpuruk. Baru-baru ini, insiden memalukan harkat persatuan bangsa terjadi. Hanya sebuah kebanggaan membela tim sepakbola, menumpahkan darah seorang anak bangsa. Tak peduli pihak manapun yang terlibat, siapapun yang diklaim bersalah, kejadian ini sangat memalukan. Insiden ini meluruhkan karisma sang dwiwarna yang dirajut dengan semangat persatuan. Hanyalah sebuah etnosentris dan solidaritas antargolongan, yang merongrong wibawa bangsa.

Bukanlah kejadian pertama, kericuhan dan keributan dalam kehidupan bangsa ini. Berjuta-juta konflik telah terjadi melukai ikatan persatuan anak-anak bangsa. Konflik vertikal, horizontal, dan konflik multikultural kelas rendah sampai kelas kakap bukan hal yang asing lagi. Pada era orla dulu, paham komunis hampir merongrong wibawa Pancasila, dilanjutkan konflik antarsuku dan etnis; Tragedi Sampit, Mei Kelabu, Peristiwa Ambon, Tragedi Tolikara, dan segudang konflik lain.

Betapa terpukulnya para pahlawan itu! Mereka hidup di tengah kita, dan berapa banyak perpecahan yang sudah kita perbuat. Apakah tidak malu! Ketahuilah, betapa tersakitinya seorang Soekarno sebagai penyambung lidah rakyat, mengetahui pengorbanannya dipecah oleh onggokan udara hampa penuh dusta; Hoax. Betapa tersakitinya para pahlawan itu. Persatuan yang telah terwujud menjadi bangsa besar ini, terberai begitu saja.

Sudahilah bung! Hentikan! Mari kita banggakan arwah para pahlawan dengan merajut kembali sang pusaka dwiwarna yang terlanjur terkoyak. Ayo kita terbangkan Sang Garuda di angkasa raya. Galakkan persatuan, banggakan arwah para pahlawan!



Penulis : Mastri Imammusaddin



XI IIS 2

Fenomena Bahasa Jaksel sebagai Pengaruh Globalisasi


Indonesia merupakan bangsa multikultural, yang terdiri dari 17.000 pulau dengan lebih dari 1211 bahasa yang digunakan masyarakat Indonesia sehari-hari. Sebagai identitas nasional dan pemersatu bangsa, pada tanggal 18 Agustus 1945, bahasa Indonesia diresmikan sebagai bahasa negara. Keputusan ini bukan tanpa alasan, karena penggunaan bahasa daerah yang beragam di Indonesia berpotensi menyebabkan perpecahan bangsa apabila tidak direkatkan dengan satu bahasa nasional yaitu bahasa Indonesia.

Dewasa ini, di tengah masyarakat, ada fenomena yang hangat diperbincangkan baik oleh warganet maupun warga biasa. Mendadak, fenomena bahasa Jaksel atau bahasa anak Jakarta Selatan menjadi sorotan karena unik dan terkesan lucu sebagai bahan candaan sehari-hari. Bahasa Jaksel sendiri adalah penggunaan bahasa Indonesia yang dicampur-campur dengan bahasa Inggris sehingga menjadi unik dan lucu. Kata-kata seperti which is, literally, sampai basically menjadi tren untuk dicuitkan di laman Twitter oleh warganet Twitter. Dikutip dari Kompas.com pada Jumat (21/9/2018), situs Spredfast mencatat ada lebih dari 52.000 cuitan mengenai "anak Jaksel" ataupun cuitan dengan tagar #anakjaksel di Twitter dalam 2 minggu pertama di bulan September. Hal ini membuktikan betapa antusias warganet menyambut fenomena unik tentang gaya bahasa kekinian.

Lantas, apakah bahasa Indonesia terancam tergeser dengan popularitas kosakata bahasa Inggris yang dinilai lebih kekinian dan bersifat bebas daripada bahasa Indonesia? Arus globalisasi yang kian deras menyebabkan potensi budaya lokal, termasuk bahasa menjadi tergerus. Budaya barat yang semakin mendesak masuk akan mempengaruhi banyak aspek di bangsa Indonesia. Anak bangsa lah yang menjadi imbas pertama dalam pengaruh globalisasi. Sifat mereka yang cenderung terus berubah dan mengikuti gaya atau tren di dunia internasional terus berlanjut seiring proses globalisasi.

Terbukti dari fenomena gaya bahasa Jaksel yang dianggap kekinian sebagai bahasa sehari-hari anak muda di kota-kota besar di Indonesia. Bahasa Indonesia yang harusnya menjadi perekat bangsa bisa jadi tenggelam dalam arus westernisasi. Sementara budaya lokal juga mulai ditinggalkan untuk mengikuti pola kehidupan masyarakat barat. Pemuda seharusnya menjadi calon-calon penerus generasi emas negara Indonesia dengan tetap memegang teguh bahasa dan budaya bangsa Indonesia serta tidak gentar memilah budaya asing yang masuk ke Indonesia. Untuk menyikapi fenomena bahasa Jaksel sendiri adalah, tetap mengutamakan bahasa Indonesia, menguasai bahasa daerah, dan tidak lupa mempelajari bahasa asing.



Penulis : Hanif

XI IIS 1

“Sumbu Pendek” Sastra Zaman Milenial


            Sumbu pendek adalah istilah yang mengacu pada sumbu kompor minyak yang akan mudah terbakar apabila tali sumbu bahan bakarnya pendek. Hal tersebut menggambarkan anak muda zaman milenial ini yang mudah termakan isu dan terprovokasi tanpa mencari tahu kebenaran suatu persoalan. Di zaman milenial ini teknologi modern menguasai manusia tanpa ampun. Gawai pintar menjadi barang wajib dalam berbagai kalangan dari yang muda hingga tua. Namun, gawai pintar tersebut tidak dimaksimalkkan untuk  aktivitas intelektual. Justru menjadikan budak yang terpenjara di ruang dan waktu.

            Dalam fenomena “sumbu pendek” ini, biasanya informasi yang disebarluaskan bisa memancing orang lain melakukan hal yang sama. Hal tersebut terjadi pada penyelenggaraan Asian Games 2018. Saat Presiden Jokowi menggunakan peran pengganti (stuntman) pada pembukaan Asian Games 2018 pada tanggal 18 Agustus 2018, sebagian masyarakat menggangapnya sebagai bentuk pembohongan publik karena Jokowi tidak melakukan aksi itu secara penuh, berbeda dengan yang terlihat daam video.

            Padahal sebenarnya hal tersebut telah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 59 Tahun 2013. Dapat dikatakan bahwa Presiden dan Wakil Presiden merupakan representasi negara ssehingga perlu mendapatkan keamanan secara khusus. Jadi, tidak mungkin seorang presiden diminta untuk melakukan atraksi hanya untuk kepentingan hiburan semata.

            Di samping itu, generasi zaman milenial hari ini justru sibuk di dunia maya sehingga mengalami kamandekan berpikir dan menuangkannya di atas kertas layakknya pahlawan bangsa tujuh dekade lalu. Anak muda zaman sekarang memiliki perbedaan yang jauh dengan pemuda zaman sebelum kemerdekaan. Soekarno, Hatta, Syahrir, Tan Malaka, dan pemuda zaman dahulu mampu membangkitkan semangat dalam berjuang. Misalnya poster perjuangan karya pelukis Affandi tersemat slogan terkenal penyair Chairil Anwar, “Bung Ajo Bung”.

            Kualitas isi tulisan zaman dahulu dan sekarang juga berbeda. Pada zaman Soekarno tulisan yang ditulis di media massa terlihat analisis dan sistematis. Sedangkan sekarang, isi tulisan cenderung dangkal. Namun, tak semua anak muda dapat dikategorikan seperti itu. Isi tulisan yang buruk dapat dipengaruhi konstruksi pemikiran penulis sendiri.

            Masalah-masalah tersebut hadir karena rendahnya literasi di Indonesia. Di zaman milenial ini telah dikembangkan literasi digital. Namun, penerapannya belum terlaksanakan dengan benar. Dalam literasi digital sendiri membutuhkan kemampuan di bidang teknis meliputi kemampuan penggunakan media digital dan bidang non teknis terdiri dari kemampuan interaksi (konteks sosial dan budaya) dan kemampuan mengusai pengetahuan terkait konteks literasi digital.

            Rendahnya literasi juga disebabkan rendahnya tingkat minat baca masyarakat Indonesia. Menurut data statistik United Nation Educational, Scienific, and Cultural Organization (UNESCO),  Indonesia menempati posisi Ke-60 dari 61 negara berdasarkan tingkat literasinya. Sementara berdasarkan survei World Economic Forum, Indonesia berada posisi ke-77 dari 144 negara dalam kesiapan teknologi.

            Permasalahan rendahnya literasi digital di Indonesia merupakan tanggung jawab semua pihak. Individu, keluarga, sekolah, perguruan tinggi, masyarakat, pemerintah, perusahaan, media, dan lain-lain. Yang paling utama adalah kerja sama di semua pihak.



Penulis : Winda Isti

XI IIS 1

Bahasa dan Budaya sebagai Modal Persatuan Bangsa


Indonesia dibangun dengan semangat persatuan yang tertuang dalam sebuah sumpah yang kemudian dikenal dengan nama Sumpah Pemuda. Tepatnya, pada 28 Oktober 1928, pemuda seantero Nusantara melalui perwakilannya telah menyetujui sebuah ikrar persatuan yang menjadi dasar bagi kebangkitan bangsa ini. Ikrar suci ini mengakhiri masa-masa perjuangan yang bersifat keaderahan. Kini lambat laun nilai-nilai suci didalamnya ternodai oleh oknum-oknum yang dalam jiwanya tidak ada yang namanya nasionalisme.

Kita semua tahu bahwa Indonesia ini sangat beragam. Masing-masing pulau memiliki kekhasan suku, bahasa, dan budayanya sendiri-sendiri yang kemudian bersatu dalam semangat keberagaman dan persatuan. Menurut sebagian orang ini semua merupakan rahmat. Nah, untuk sebagian yang lain keberagaman ini justru memunculkan bibit-bibit disintegrasi. Disintegrasi yang akhir-akhir ini ramai terjadi menandakan lunturnya semangat keberagaman dan persatuan dalam diri bangsa. Kebencian yang ditaburi bumbu-bumbu provokasi menjadi semakin merebak. Mulai timbul pertanyaan. Dimana nasionalisme kita sebagai bangsa Indoensia?

“Kami putra dan putri Indonesia menjunjung tinggi bahasa persatuan, bahasa Indoensia.” Begitu kiranya esensi dari bahasa Indonesia yang tertuang dalam Sumpah Pemuda. Indonesia dengan ribuan bahasa daerahnya disatukan dalam bahasa nasional, bahasa Indonesia. Bayangkan saja jika kita ingin berbicara dengan orang dari daerah lain yang bahasa sehari-harinya berbeda dengan kita? Tentu akan sulit. Disinilah bahasa Indoensia muncul sebagai alat pemersatu bagsa dalam keberagaman yang ada.

Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional disini tentunya harus digunakan dengan baik dan benar. Orang yang pandai berbahasa tentu tidak bisa disamakan dengan orang yang hanya bisa berbicara tanpa tahu apa yang ia bicarakan. Persepsi orang akan berbeda-beda dari apa yang kita ucapkan. Jangan sampai karena kita salah dalam meyampaikan sesuatu justru membuat orang lain tersinggung. Baik-baik saja jika orang itu bisa memahami kita. Lah jika orang itu tidak punya toleransi? Semuanya bisa menjadi kacau.

Berbicara keberagaman. Ada satu lagi yaitu budaya Indonesia. Tidak akan ada habisnya jika berbicara tentang budaya yang kita miliki. Unsur-unsur budaya yang kita miliki itu unik. Keuniakan inilah yag menjadi modal persatuan kita. Masing-masing dari kita harus memiliki rasa mempunyai terhadap keberagaman dan keuikan itu. Jika rasa ini telah muncul, dapat dipastikan tidak akan ada kekhawatiran akan terjadinya disintegrasi bangsa. Persatuan akan senantiasa terbina. Begitu pembangunan nasional pun akan dapat berjalan memenuhi kebutuhan rakyat. Bangsa ini akan menjadi bangsa yang besar dan terhormat.

Dari kesemuanya, marilah kita mulai dari sekarang untuk menata bahasa yang kita gunakan sehari-hari agar tidak mucul perselisilah diantara sesama bangsa Indonesia. Selain itu, kita harus punya rasa memiliki bukan hanya daerah kita begitu juga dengan daerah lainnya. Ayo kita mengenal lebih dalam tentang Indonesia.



Penulis : Widya Anugrah

XI MIPA 8


Sastrawan adalah Pahlawan


Menurut  Kamus Besar Bahasa Indonesia, pahlawan adalah orang yang menonjol karena keberaniannya dan pengorbanannya dalam membela kebenaran. Pahlawan bukan hanya orang yang mengangkat senjata dan berjuang di medan perang. Orang  yang berjuang dengan pikiran dan kata-kata juga layak disebut pahlawan. Orang itu  tak lain adalah sastrawan.

            Sastrawan menuangkan pikiran mereka melalui tulisan atau kata-kata untuk memotivasi dan mengubah pola pikir masyarakat untuk menjadi lebih baik. Menurut Gus Dur salah satu pengaruh sastra terhadap kehidupan berbangsa adalah untuk pembersih nurani masyarakat. Suatu negara sangat membutuhkan karya sastra untuk dapat memberikan harapan terwujudnya keberadaban negara. Keberadaban negara dapat dicapai apabila dapat menjalankan pentingnya keindahan, kerukunan, toleransi, dan peduli dengan sekitar. Dari semua hal tersebut dapat diambil dari nilai-nilai yang terkandung dalam sebuah karya sastra.

            Salah satu sastrawan Indonesia yang mendapat gelar pahlawan nasional adalah Bapak Amir Hamzah. Beliau mendapat gelar tersebut karena kemahiran beliau dalam bidang sastra dan pengaruh yang dimiliki oleh beliau. Dalam buku Pahlawan Nasional Amir Hamzah, Sagimun Mulus Dumadi menyebut Bapak Amir Hamzah sebagai golongan man of thought and inspiration yang artinya orang-orang yang dengan daya pikir dan daya ciptanya mampu menggerakkan atau menggetarkan hati ribuan, ratusan ribu, bahkan juataan orang.

            Selain Bapak Amir Hamzah masih banyak sastrawan yang merupakan seorang pahlawan meskipun belum secara resmi ditetapkan sebagai pahlawan oleh pemerintah.

            Kesimpulannya, sastrawan layak dianggap sebagai pahlawan karena sastrawan juga berani menuangkan pikirannya untuk mengubah masyarakat menjadi lebih baik. Intinya, sastrawan mampu mempengaruhi hati nurani masyarakat.



Penulis : Veny Wulansari

XI MIPA 8

SASTRAWAN SEBAGAI PEJUANG KEBANGKITAN NEGERI YANG DIREFLEKSIKAN PADA ERA PEMUDA MASA KINI

SASTRAWAN SEBAGAI PEJUANG KEBANGKITAN NEGERI YANG DIREFLEKSIKAN PADA ERA PEMUDA MASA KINI

Diajukan untuk Mengikuti Lomba Esai dalam Rangka Bulan Bahasa
SMA Negeri 1 Purworejo Tahun 2018



Oleh :

Siti Mudrikah
19704
XI MIPA 7


SMA NEGERI 1 PURWOREJO
2018
Sastrawan sebagai Pejuang Kebangkitan Negeri yang Direfleksikan pada Era Pemuda Masa Kini

Pandangan beberapa orang yang diklaim menjadi mayoritas menganggap bahwa pahlawan adalah dia yang rela berjuang dengan bertempur di peperangan yang berdiplomasi hingga mati atau hampir mati di hadapan negara lain. Padahal pada hakikatnya seorang pahlawan merupakan seorang pejuang yang berjuang dan rela berkorban untuk masyarakat atau bangsanya dalam berbagai aspek kehidupan bangsa Indonesia, yang mana tidak selalu mereka yang sudah terbukti jelas ikut beradu fisik dalam pertempuran. Mereka yang berani memperjuangkan kebenaran, berani berkorban untuk orang lain dan untuk bangsanya, dapat disebut sebagai pahlawan. Guru, dokter, relawan, bahkan petani, mereka adalah pahlawan. Dalam hal ini sastrawan pun dapat disebut sebagai seorang pahlawan. Sastrawan sebagai pahlawan memiliki peran cukup penting untuk masyarakat dan bangsanya.
1.     Sastrawan sebagai pahlawan bagi masyarakat dan bangsa.
Sastrawan dapat dikatakan pahlawan apabila karya-karyanya mampu menjadi tongkat estafet tegaknya pembangunan. Indonesia memiliki karya-karya tulis para pendekar bangsa yang mempunyai nilai seni sastra yang tinggi sebagaimana dapat kita telusuri dari sejarah waktu para pahlawan bangsa ini berjuang mewujudkan Indonesia merdeka dan melepaskan bangsa dari belenggu pembodohan, pemiskinan, dan penghinaan oleh kekuasaan kolonial Belanda. Beliau-beliau itu menghasilkan karya-karya tulis yang tidak terhingga nilainya baik dari segi sastra dan bahasanya maupun dari segi kenegaraan karena pada intinya, tulisan-tulisan tersebut mengedepankan pembentukan suatu "moral state" atau Negara bermoral tinggi (Hasibuan, 2005).
Tongkat estafet pembangunan bangsa dapat diartikan bahwa karya tulis satrawan seharusnya mampu mengadakan perubahan yang positif bagi generasi mendatang. Banyak sastrawan Indonesia yang juga merupakan pahlawan. Buya Hamka, Haji Abdul Malik Karim Amrullah, merupakan seorang sastrawan penulis novel berjudul “Di Bawah Lindungan Ka’bah” dan “Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk”. Beliau juga ikut berjuang dalam menentang kolonialisme Belanda. Ada juga Abdul Muis yang merupakan seorang wartawan sekaligus sastrawan. Karyanya yang dianggap sebagai salah satu karya sastra terbaik Indonesia berjudul “Salah Asuhan”. Selain itu, ada Muhammad Yamin yang merupakan pelopor Sumpah Pemuda. Beliau juga seorang sastrawan. Salah satu puisi karyanya berjudul “Tanah Air”.
Masih banyak sastrawan lainnya yang turut berperan dalam perjuangan kebangkitan Indonesia. Sastrawan menjadi pahlawan melalui karya tulisnya. Beberapa karya tulis tersebut bahkan banyak yang memuat kritik terhadap pemerintah, wawasan atau ilmu, maupun sejarah yang dapat menambah pengetahuan para pembaca.
Seperti pada karya Pramoedya Ananta Toer, dalam novel “Bumi Manusia” misalnya, diceritakan kehidupan pada zaman kolonialisme di Jawa. Chairil Anwar pun turut mengobarkan semangat merebut kemerdekaan pada puisinya yang berjudul “Diponegoro”.
“...
MAJU
Bagimu Negeri.
Menyediakan api
Punah di atas menghamba
Binasa di atas ditindas
Sesungguhnya jalan ajal baru tercapai
Jika hidup harus merasai
Maju
Serbu
Serang
Terjang”

Pada kutipan puisi karya Chairil Anwar tersebut jelas bahwa Chairil Anwar mengobarkan semangat juang untuk kebangkitan negeri, menentang penjajahan. Puisinya memberikan semangat dan dorongan bagi para pejuang kemerdekaan kala itu.  Melalui puisinya, Chairil Anwar berjuang. Puisi-puisi Chairil Anwar telah banyak menginspirasi bagi perjuangan memperebutkan kemerdekaan Indonesia. Kutipan sajak di atas adalah salah satunya, yang mana puisi tersebut sangat khas mengenai perjuangan menentang para penjajah pada masa itu.
2.     Pentingnya sastrawan dalam membangun peradaban bangsa.
Sastrawan melalui karya tulisnya baik secara langsung maupun tidak langsung telah mewariskan kearifan lokal kepada generasi berikutnya. Dilansir dari media berita Kompas.com, Martin Aleida, sastrawan yang produktif menulis cerpen dan buku, pada 23 Maret 2011 mengatakan bahwa peran sastra membangun peradaban bangsa sangat penting. Melalui karya sastra, seseorang tidak hanya mengembangkan imajinasi yang bisa digunakan untuk membangun bangsa, tetapi juga sebagai media untuk mewariskan nilai kearifan lokal kepada generasi muda. Kearifan lokal inilah yang membentuk jati diri bangsa Indonesia .
Para sastrawan dengan sengaja maupun tidak sengaja telah mematrikan suatu kebudayaan dengan tulisannya. Jadi, di dalam tulisannya tersebut, para sastrawan telah secara tidak langsung mendokumentasikan kebudayaan yang ada pada masa itu, yang mana melalui tulisan tentu lebih permanen daripada kebudayaan itu sendiri. Generasi muda tetap dapat mempunyai kesempatan untuk memperoleh pengetahuan mengenai suatu kebudayaan generasi sebelumnya, salah satunya melalui tulisan para sastrawan, meskipun kebudayaan generasi sebelumnya telah berkembang atau bahkan dihilangkan menjadi kebudayaan masa sekarang.
Selanjutnya, dengan adanya karya tulis para sastrawan dapat memunculkan rasa penasaran generasi muda terkait sejarah, kebudayaan, cerita, atau berita yang telah terjadi di masa lampau jauh sebelum generisi muda itu ada di dunia. Munculnya rasa penasaran tesebut tentu akan turut mendatangkan semangat dalam diri generasi muda untuk mau membaca. Hal ini tentunya dapat menanamkan budaya literasi bagi generasi muda.
Melalui gerakan literasi tersebut ilmu dan wawasan mengenai sejarah, kebudayaan, cerita, atau berita terdahulu yang sastrawan tuliskan, akan tersalurkan kepada generasi muda sehingga generasi muda mejadi generasi yang mengetahui seluk-beluk kehidupan sebelum mereka, yang mana diharapkan generasi muda mampu menjadikan kehidupan sebelum mereka sebagai pelajaran untuk kehidupan yang lebih baik di masa mendatang.
Dengan demikian, sastrawan tentu berperan penting dalam membangun peradaban bangsa untuk menjadi lebih baik.
3.     Refleksi perjuangan sastrawan pada pemuda masa kini.
Sastrawan ternyata berperan penting dalam membangun peradaban bangsa. Oleh karena itu, sastrawan pantas untuk disebut sebagai pahlawan. Mereka berjuang melalui karya-karya tulis mereka demi kemajuan dan kebangkitan bangsa. Perjuangan sastrawan ini sudah selayaknya untuk mendapat apresiasi oleh seluruh kalangan, terutama dari generasi muda. Apresiasi berasal dari apreciatio (Latin) yang berarti mengindahkan atau menghargai. Sementara itu, Effendi seperti dikutip Aminuddin (1997) mendefinisikan apresiasi sastra sebagai kegiatan menggauli karya sastra secara sungguh-sungguh sehingga menimbulkan pengertian, penghargaan, kepekaan pikiran kritis, dan kepekaan perasaan yang baik terhadap karya sastra. Apresiasi sastra dapat tumbuh dengan baik bila pembaca mampu menumbuhkan rasa akrab dengan karya sastra dengan suka membaca karya sastra, bukan sekedar suka membaca berita yang seru-seru mengenai sastrawan di media massa (Aminuddin,1997; Damono,1998).
Setelah adanya apresiasi sastra, generasi muda hendaklah meneladani semangat dan moral para sastrawan dalam upaya membangun peradaban bangsa melalui karya-karyanya. Terakhir, generasi muda juga dapat ikut berkarya. Berkarya di sini tidak mutlak dalam bidang sastra. Generasi muda dapat berkarya untuk negeri sesuai dengan kemampuan atau bidangnya masing-masing. Sehingga dengan melimpahnya karya-karya yang ditorehkan oleh generasi muda Indonesia akan semakin memperkaya bangsa Indonesia. Hal ini tentu akan berdampak pada kemajuan peradaban bangsa Indonesia sendiri.
            Terlepas dari kuantitas karya tulis yang dihasilkan oleh para sastrawan, mereka tetap pantas mendapat julukan pahlawan dari masyarakat. Sastrawan melalui karya-karyanya turut berjuang untuk bangsa Indonesia yang lebih baik lagi. Penghargaan dan apresiasi sepatutnya tercurah untuk mereka sebagai salah satu pahlawan negeri ini.





















DAFTAR PUSTAKA

 

Fitriana Puspita Dewi, Aji Setyanto, dan Retno Dewi Ambarastuti. (2015). BENTUK PROPAGANDA JEPANG DI BIDANG SASTRA PADA MAJALAH DJAWA BAROE SEMASA KEPENDUDUKAN JEPANG DI INDONESIA 1942-1945. JIA, Vol. 2 No. 1 , 41-59.
Hasibuan, S. R. (2005). PERAN SASTRA DAN BAHASA DALAM PEMBANGUNAN BANGSA WACANA DAN TRANSFORMASI BUDAYA. Proceeding, Seminar Nasional PESAT 2005 , 1.
Rismawati, M. P. (2017). PERKEMBANGAN SEJARAH SASTRA INDONESIA. Banda Aceh: Bina Karya Akademika.
Wiyatmi dan Kastam Syamsi. (2002). PENINGKATAN APRESIASI SASTRA SISWA SLTP DENGAN PENDEKATAN RESEPSI SASTRA. Cakrawala Pendidikan Th. XXI, No. 1 , 60-61.


Kompas.com. 2011. Sastra Penting Bagi Peradaban Bangsa
Diakses pada 27 September 2018


[FILE]

PENINGKATAN KETERAMPILAN BERBAHASA DAN MENGENAL BUDAYA SEBAGAI DASAR MENCETAK GENERASI MAJU YANG PANDAI DALAM MENGANALISIS DAN MEMECAHKAN MASALAH


PENINGKATAN KETERAMPILAN BERBAHASA DAN MENGENAL BUDAYA SEBAGAI DASAR MENCETAK GENERASI MAJU YANG PANDAI DALAM MENGANALISIS DAN MEMECAHKAN MASALAH

ESAI

Diajukan untuk Mengikuti Lomba Esai dalam Rangka Bulan Bahasa 
 SMA Negeri 1 Purworejo Tahun 2018






Oleh :



Ulfah Nur Azizah

19708

XI MIPA 7





SMA NEGERI 1 PURWOREJO

2018


PENDAHULUAN

            Secara kodrati, Indonesia terlahir sebagai bangsa yang memiliki kemajemukan, yang secara sepenuhnya tidak dimiliki oleh bangsa lain. Indonesia terbentang dari 6oLU–11oLS dan 95oBT–141oBT, dari Sabang hingga Merauke yang berjajar pulau-pulau. Secara keseluruhan, pulau-pulau di Indonesia berjumlah 17.508 buah pulau besar dan pulau kecil (Tim Kerja Sosialisasi MPR-RI, 2015). Sebagian besar pulau-pulau tersebut didiami oleh penduduk dengan berbagai suku, agama, ras, bahasa, budaya, dan keragaman lainnya. Kemajemukan tersebut telah menjadi ciri khas bangsa Indonesia sekaligus sebagai suatu kebanggaan serta ancaman apabila konflik antargolongan tidak segera diatasi.

            Sebelum adanya multikulturalisme di Barat, bangsa Indonesia telah memiliki pandangan hidup “Bhinneka Tunggal Ika”. Pada pemikiran masyarakat yang majemuk, selain adanya kebudayaan kelompok suku bangsa, masyarakat Indoesia juga terdiri dari beragam kebudayaan daerah yang bersifat kewilayahan yang merupakan pertemuan dari berbagai kebudayaan kelompok suku bangsa di daerah tersebut  (Hermi Yanzi).

            Di era kontemporer, Alvin Toffler seorang guru besar dalam bidang futurologi melalui karyanya Future Shock The Third Wave (1970: 14) mengatakan bahwa umat manusia akan mengalami tiga masa mulai dari era pertanian yang disebut sebagai gelombang pertama antara 800 SM-1500 M. Pada masa ini kehidupan manusia dicirikan dengan aktifitas yang berpindah-pindah tempat (nomaden) untuk berburu dan mencari sumber makanan di alam bebas. Kemudian masuk ke era industri dimana pada era ini ditemukan berbagai macam alat produksi untuk memudahkan pekerjaan manusia seperti mesin uap, kendaraan bermotor, dan bola lampu. Gelombang kedua ini berlangsung antara tahun 1500-1970 M. Gelombang ketiga terjadi pada 1970-2000 M dimana era teknologi berkembang begitu pesatnya melewati batas ruang dan waktu. Pada masa ini terjadi besar-besaran transfer ilmu pengetahuan melalui berbagai macam alat-alat elektronik seperti komputer, laptop, handphone, dan lain-lain.

            Seiring majunya peradaban zaman zaman, bahasa daerah yang merupakan ciri kearifan lokal hingga bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan dan budaya bangsa semakin memudar. Untuk mengatisipasi lunturnya budaya dan bahasa yang telah ada sebagai kodrat bagi bangsa Indonesia, diperlukan adanya peningkatan keterampilan berbahasa dan mengenal budaya, khusnya bagi pelajar. Hal ini berkaitan erat dengan perkembangan era globalisasi, yaitu sebagai dasar dalam mencetak generasi maju yang pandai dalam menghadapi permasalahan era modern, baik yang sudah nyata maupun yang masih abstrak.



1.     RUMUSAN MASALAH

a.      Apa pentingnya mengembangkan keterampilan berbahasa dan mengenal budaya di kalangan pelajar?

b.     Bagaimana kaitannya pengembangan keterampilan berbahasa dan mengenal budaya dengan menganalisis dan memecahkan masalah?

c.      Bagaimana cara meningkatkan keterampilan berbahasa dan mengenal budaya yang dapat meningkatkan kemampuan menganalisis dan memecahkan masalah?

2.     TUJUAN

a.      Mengetahui pentingnya mengembangkan keterampilan berbahasa dan mengenal budaya di kalangan pelajar.

b.     Mengetahui kaitannya mengembangkan keterampilan berbahasa dan mengenal budaya dengan menganalisis dan memecahkan masalah.

c.      Mengetahui cara meningkatkan keterampilan berbahasa dan mengenal budaya yang dapat meningkatkan kemampuan menganalisis dan memecahkan masalah.







































PEMBAHASAN



a)     Pentingnya mengembangkan keterampilan berbahasa dan mengenal budaya di kalangan pelajar.

                 Bahasa merupakan salah satu alternatif yang digunakan seseorang untuk berkomunikasi. Melalui bahasa, manusia dapat menjalin hubungan atau berinteraksi dengan alam sekitarnya, terutama sesama manusia sebagai makhluk sosial ciptaan Tuhan (Hermi Yanzi). Bahasa sebagai media komunikasi memiliki peran penting dalam mengungkapkan segala sesuatu yang ada dalam diri seseorang, baik pemikiran, pandangan, pendapat, maupun emosi. Dalam kehidupan sehari-hari, manusia tidak terlepas dari bahasa, baik yang diungkapkan melalui lisan, tulisan, maupun yang diungkapkan melalui gerakan. Variasi dan perbedaan cara berbahasa dapat menunjukkan kepribadian dan karakter seseorang. Kepribadian adalah semua corak perilaku dan kebiasaan individu yang terhimpun dalam dirinya dan digunakan untuk bereaksi serta menyesuaikan diri terhadap segala rangsangan baik dari luar maupun dari dalam  (Iyus Yosep, 2007). Menurut Alport, kepribadian adalah organisasi dinamis di dalam individu dari sistem psikofisik yang menentukan keunikan penyesuainannya terhadap lingkungan  (Srivastava, 2018).  Corak perilaku dan kebiasaan ini merupakan kesatuan fungsional yang khas pada seseorang. Perkembangan kepribadian tersebut bersifat dinamis, artinya selama individu masih bertambah pengetahuannya dan mau belajar serta menambah pengalaman dan keterampilan, mereka akan semakin matang dan mantap kepribadiannya (Depkes, 1992).  Sementara itu, menurut Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, karakter adalah sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang dari yang lain, tabiat, watak. Dalam Dorland’s Pocket Medical Dictionary (1968: 126) dinyatakan bahwa karakter adalah sifat nyata dan berbeda yang ditunjukkan oleh individu (Pranowo). Karakter seseorang dapat ditunjukkan melalui bahasa yang dilantunkan oleh orang tersebut, salah satunya pelajar. Berdasarkan tujuannya, pelajar terbagi menjadi dua macam, yaitu pelajar yang sungguh-sungguh dalam menuntut ilmu dan pelajar yang hanya menjadikan sekolah sebagai formalitas belaka yang ditunjukkan dengan sikap yang tidak terjaga. Pelajar yang berada di lingkungan yang mendukung intelektualnya, cenderung akan menjaga bahasa atau ucapan mereka sebagaimana mestinya. Contohnya, saat pelajar tersebut harus berhadpan dengan orang yang lebih tua, mere cenderung menjaga bahasanya dengan tujuan menghormati lawan bicara mereka. Sementara itu, pelajar yang berada dalam lingkungan yang acuh tak acuh terhadap bahasa, mereka cenderung akan membebaskan dirinya untuk berbahasa semau mereka. Hal ini erat kaitannya dengan budaya yang telah tercipta dalam lingkungan yang melingkupi mereka. Dalam budaya Jawa, saat orang yang lebih muda berbicara atau berkomunikasi dengan orang yang lebih tua, mereka akan mengubah bahasa kesehariannya dengan bahasa yang lebih sopan seperti bahasa krama.

                 Budaya terdiri dari pola eksplisit dan implisit dari perilaku yang diperoleh dan ditransmisikan oleh simbol. Budaya terbentuk dari banyak unsur yang rumit, termasuk sistem agama dan politik, adat istiadat, bahasa, perkakas, pakaian, bangunan, dan karya seni serta bahasa, sebagaimana juga budaya, merupakan bagian tak terpisahkan dari diri manusia sehingga banyak orang menganggapnya sebagai genetis atau warisan turun-menurun. Menurut Kroeber dan Kluckhohn (1951), budaya merupakan pencapaian khas dari kelompok manusia, termasuk perwujudan mereka dalam artefak. Inti penting dari budaya yang terdiri dari gagasan tradisional dan terutama yang berkaitan dengan nilai-nilai moral mereka. Sistem budaya, dalam satu sisi dapat dianggap sebagai produk tindakan, sedangkan di sisi lain dianggap sebagai elemen bersyarat dari tindakan masa depan (Spencer-Oatey, 2012).

                 Di era globalisasi ini, semuanya semakin tidak terkendali. Beriringan dengan era tersebut, banyak terjadi akulturasi budaya barat dengan budaya Indonesia yang telah mengakar sejak zaman nenek moyang. Hal ini dikhawatirkan akan menyebabkan terhapusnya budaya Indonesia dan terdorongmasuknya budaya barat yang tidak sesuai dengan adat dan moral bangsa Indonesia. Ditambah lagi, abad-21 memberikan tantangan tersendiri bagi generasi muda Indonesia saat ini, khususnya bagi kaum pelajar. Pelajar merupakan investasi yang disiapkan dari masa sekarang agar menjadi orang-orang hebat yang memiliki pemikiran kritis dan kreatif dalam menghadapi permasalahan di era global. Oleh karena itu, penting bagi pelajar untuk meningkatkan keterampilan berbahasa dan mengenal budaya Indonesia agar keduanya tetap terjaga hingga ke generasi selanjutnya.

b)     Kaitannya pengembangan keterampilan berbahasa dan mengenal budaya dengan menganalisis dan memecahkan masalah.

                 Berdasarkan sejarah, para pendiri bangsa telah menyadari keberagaman yang ada di Indonesia. Keberagaman tersebut telah diikat dalam ikrar Sumpah Pemuda. Ikrar pemuda tersebut selanjutnya diperkuat daam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 36 dan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2006 tentang Bendera, Bahasa, Lambang Negara, dan Lagu Kebangsaan. Sebagai simbol jati diri bangsa, bahasa Indonesia harus tetap dikembangkan agar tetap memenuhi fungsinya sebagai bahasa persatuan dalam komunikasi nasional di berbagai aspek kehidupan. Dengan adanya bahasa Indonesia, paham egosentris tentang kedaerahan dapat diminimalisasi sehingga terciptalah bahasa komunikasi yang menyatukan berbagai keberagaman di Indonesia.

                 Pada prinsipnya, orang yang pandai berbahasa memiliki nilai lebih dalam mengomunikasikan pemikirannya. Apalagi, di era globalisasi ini, bukan hanya keterampilan menulis dan duduk pasif di dalam ruang kelas, melainkan harus bisa mengomunikasikan hasil pemikiran kita, baik dari bentuk tulisan maupun yang masih terdapat dalam angan-angan. Hal ini selaras dengan pemikiran abad-21, yaitu dimilikinya keterampilan communication atau komunikasi. Dalam mengomunikasikan hasil cipta, karsa, rasa, dan pemikiran, seseorang harus bisa berbahasa dengan baik agar lawan bicara atau pendengar dapat menangkap sesuatu yang kita komunikasikan.

                 Bahasa Indonesia memiliki fungsi dalam kedudukannya sebagai bahasa nasional, yakni: (1) sebagai alat atau sarana pemersatu berbagai suku bangsa, (2) sebagai lambang identitas nasional atau jati diri bangsa, (3) sebagai lambang kebanggaan nasional, dan (4) sebagai alat atau sarana komunikasi antardaerah dan antarbudaya daerah. Kemudian fungsi bahasa Indonesia dalam kedudukannya sebagai bahasa negara, yakni: (1) sebagai bahasa resmi kenegaraan, (2) sebagai bahasa dalam hukum dan perundang-undangan, (3) sebagai alat atau sarana pengembang Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) dan budaya, serta (4) sebagai bahasa pengantar dalam dunia pendidikan (Kridalaksa, 1985).

                 Sesuai dengan fungsi bahasa Indonesia sebagai alat pemersatu bangsa yang multikultural, bahasa dapat menyatukan beragam pendapat, pandangan, maupun konsep pemikiran. Akan tetapi, perlu diingat bahwa setiap fungsi pasti memiliki suatu kelemahan. Kelemahan itu akan timbul apabila bahasa Indonesia tidak dapat dimanfaatkan secara bijak, baik, dan benar, dapat menimbulkan suatu masalah baru. Contohnya, apabila bahasa Indonesia semata-mata hanya digunakan untuk menjelek-jelekkan atau menyudutkan suatu kelompok masyarakat, maka bahasa Indoesia tidak lagi berfungsi sebagai alat pemersatu bangsa. Katakanlah, jika saja dalam suatu wilayah orang-orangnya hanya memiliki keterampilan berbahasa, tetapi minim dalam mengenali budaya, maka wilayah tersebut bisa hancur persatuannya karena penggunaan bahasa tidak dimanfaatkan dan dikelola secara baik, melainkan menyimpang dari fungsi bahasa. Hal ini tentunya dipengaruhi oleh budaya yang di dalamnya termaktub adat istiadat, moral, tata krama, dan sopan santun dalam bergaul.

                 Selain itu, bahasa mencerminkan karakter seseorang. Hal ini disebabkan oleh ujaran-ujaran yang dituturkan secara literal dapat menunjukkan kesopanan, keakraban, memberikan penguatan, dan menciptakan kedamaian serta kegembiraan hati. Begitu juga eleman-elemen nilai yang terkandung dalam bahasa dijelmakan menjadi bagian dari sikap, perilaku, kebiasaan, dan kebutuhan penutur bahasa. Jika elemen-elemen nilai kesantunan, displin, jujur, hati-hati, dan bijaksana telah ditransfer menjadi sikap, perilaku, kebiasaan, dan kebutuhan penutur bahasa, maka nilai-nilai itu sudah menjadi jati diri dan karakter penutur bahasa tersebut  (Oktavianus, 2013). Dengan begitu, bahasa yang dituturkan seseorang telah menjadi ciri khas dan dapat membentuk karakter penutur dari nilai-nilai bahasa yang dirtuturkan. Apabila generasi muda saat ini mampu mengelola bahasa yang mereka tuturkan dengan baik, maka karakter mereka secara tidak langsung akan terbentuk. Jika bahasa yang dituturkan tersebut berasal dari sebuah ide atau gagasan  yang telah dipikirkan secara kritis dengan melihat variabel-variabelnya, maka permasalahan bangsa Indonesia mendatang dapat diatasi dengan pemikiran-pemikiran kritis dan pengomunikasiannya kepada pihak lain dengan bahasa yang mampu mereka tangkap.

                 Seiring berkembangnya zaman, teknologi pun ikut berkembang. Hingga tahun 2018 ini, teknologi masih mengalami masa perkembangan. Di mana artificial intelligence (AI), yaitu area kompoter sains yang menekankan kreasi dari kecerdasan mesin yang bekerja dan memberikan reaksi seperti manusia, kini tengah dikembangkan, khususnya di negara-negara maju seperti Eropa dan Amerika. Bila bangsa kita masih saja pasif menghadapi perkembangan teknologi yang semakin pesat, bisa jadi dampak negatif perkembangan teknologi semakin menyebar dan tidak menutup kemungkinan jika budaya nenek moyang selama ini akan semakin menipis dan akhirnya menghilang.

                 Di sisi lain, generasi muda memerlukan suatu inovasi yang nantinya bisa bermanfaat bagi bangsa Indonesia kelak. Salah satu caranya yaitu dengan penerapan budaya berpikir kritis yang dapat dimulai sejak dini. Budaya ini masih dikembangkan oleh pemerintah melalui penerapan 4C (critical thinking, creativity, colaboration, dan communication) untuk menyongsong tantangan abad-21. Tentu saja, budaya yang telah tersusun di zaman nenek moyang perlu dikenal, dipelajari kembali, lalu dikembangkan guna menghasilkan budaya baru yang tidak terlepas dari turun-temurunnya budaya nenek moyang bangsa Indonesia.

                 Sementara itu, dapat dikatakan bahwa salah satu bentuk budaya ialah kearifan lokal. Kearifan lokal dapat didefinisikan sebagai suatu kekayaan budaya lokal yang mengandung kebijakan hidup; pandangan hidup (way of life) yang mengakomodasi kebijakan (wisdom) dan kearifan hidup  (Suyatno, 2011). Di Indonesia, kearifan lokal tidak berlaku secra lokal pada budaya tertentu, melainkan bersifat lintas budaya sehingga membentuk nilai budaya yang bersifat nasional. Contohnya, hampir di setiap budaya lokal di Indonesia mengajarkan gotong royong, toleransi, semangat kerja, dan lain-lain. Pada umumnya, etika dan nilai moral yang terkandung dalam kearifan lokal diajarkan secara turun menurun sejak zaman nenek moyang. Namun, sifat turun-temurun tersebut tidak sepenuhnya terjamin keutuhannya. Dalam kehidupan saat ini, banyak sekali pergeseran nilai moral yang telah diwariskan sejak zaman nenek moyang karena arus globalisasi era modern. Kearifan lokal yang sesungguhnya dipandang sebagai identitas bangsa tidak akan bermakna tanpa dukungan ideologi yang berpihak kepadanya. Dalam konstelasi global, ketika perang dingin telah berakhir dengan runtuhnya Uni Soviet, tanpa ideologi yang menyertai kepentingan nasional, bangsa ini akan semakin kehilangan identitas dalam percaturan global dan hanyut dalam arus globalisasi yang didikte oleh negara lain.

                 Apabila generasi muda telah dapat menelaah budaya yang selama ini termaktub dalam budaya bangsa Indonesia, maka kecil kemungkinannya budaya tersebut akan meluruh. Seiring berjalannya arus globalisasi, generasi muda harus bisa membentengi bangsa Indonesia agar tidak hanyut dalam pengaruh negatifnya yang dapat menghancurkan persatuan dan kesatuan bangsa melalui permasalahan-permasalahan yang timbul, baik yang terduga maupun yang tidak terduga. Pengetahuan bahasa dan budaya harus saling berkaitan satu sama lain. Tidaklah suatu bangsa dapat bertahan tanpa adanya budaya, dan tidaklah suatu bangsa saling mengerti pemikiran kaumnya tanpa adanya bahasa. Dalam praktik dunia teknologi ini, banyak permasalahan baru yang akan timbul. Oleh karena itu, untuk mengatasinya, dibutuhkan generasi muda yang aktif, cerdas, kreatif, berpikir kritis, dapat berkomunikasi lewat bahasa yang baik, dan tidak meninggalkan budaya yang selama ini telah diajarkan oleh nenek moyang bangsa Indonesia sebagai bekal memajukan Indonesia melalui pemikiran-pemikiran analitik dan berkonsep pada budaya bangsa dengan jalan menganalis masalah tersebut dan memecahkannya secara bersama-sama melalui komunikasi bahasa persatuan, bahasa Indonesia, dengan catatan tidak melupakan bahasa daerah yang telah menjadi ciri khas kemajemukan Indonesia.

c)     Cara meningkatkan keterampilan berbahasa dan mengenal budaya yang dapat meningkatkan kemampuan menganalisis dan memecahkan masalah.

                 Keterampilan berbahasa dan mengenal budaya dapat ditingkatkan melalui pengembangan literasi yang  bermanfaat dan senantiasa menjaga kearifan lokal bangsa Indonesia yang selama dalam perjalanannya semakin terkooptasi oleh berbagai kepentingan ekonomi dan politik global yang dijalankan oleh negara-negara maju. Literasi mengajarkan kita untuk bisa berpikir kritis, mendalami sebuah permasalahannya, kemudian menganalisis permasalahan baru yang akan timbul walaupun masih secara abstraksi.

                 Dikarenakan arus globalisasi dan kemajuan teknologi yang pesat di era modern ini, banyak budaya Indonesia yang telah mengakar sejak zaman dahulu kini menjadi semakin menipis dan pola perilaku masyarakat menjadi berubah mengikuti pola ekonomi modern yang serba konsumtif. Untuk mengatasi masalah ini, generasi muda harus bisa mempersiapkan sejak dini keterampilan yang menunjang dalam mengahadapi tantangan abad-21 mendatang, yaitu dengan senantiasa menjaga bahasa daerah hingga bahasa nasional dengan sebaik-baiknya dan jangan melupakan budaya daerah yang menjadi ciri khas budaya nasional bangsa Indonesia.

                





              



















DAFTAR PUSTAKA





Iyus Yosep, S. M. (2007). Konsep Kpribadian, Kesadaran, Konsep Emosi, Konsep Stress dan Adaptasi, Depresi, Pengukuran Dan Uji Perilaku.

Kridalaksa, H. (1985). Fungsi Bahasa dan Sikap Bahasa. Nusa Indah.

Oktavianus. (2013). Bahasa yang Membentuk Jati Diri dan Karakter Bangsa. Journal Arbitrer, 72.

Pranowo, D. D. (n.d.). Implementasi Pendidikan Karakter Kepedulian dan Kerjasama pada Matakuliah Keterampilan Berbicara Bahasa Perancis dengan Metode Bermain Peran.

Spencer-Oatey, H. (2012). Global PAD Core Concepts. What is Culture?

Srivastava, G. S. (2018). What Makes a Good Structural Model of Personality? Personal Dimentions.

Suyatno, S. (2011, April 23). Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Retrieved September 27, 2018, from Revitalisasi Kearifan Lokal sebagai Upaya Penguatan Identitas Keindonesiaan: badanbahasa.kemdikbud.go.id/lamanbahasa/content/revitalisasi-kearifan-lokal-sebagai-upaya-penguatan-identitas-keindonesiaan

Tim Kerja Sosialisasi MPR-RI. (2015). Empat Pilar Kehidupan Berbangsa dan Bernegara. Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR-RI.

[FILE]