PENINGKATAN KETERAMPILAN BERBAHASA
DAN MENGENAL BUDAYA SEBAGAI DASAR MENCETAK GENERASI MAJU YANG PANDAI DALAM
MENGANALISIS DAN MEMECAHKAN MASALAH
ESAI
Diajukan untuk Mengikuti Lomba Esai
dalam Rangka Bulan Bahasa
SMA
Negeri 1 Purworejo Tahun 2018
Oleh :
Ulfah Nur Azizah
19708
XI MIPA 7
SMA NEGERI 1 PURWOREJO
2018
PENDAHULUAN
Secara kodrati, Indonesia terlahir sebagai bangsa yang
memiliki kemajemukan, yang secara sepenuhnya tidak dimiliki oleh bangsa lain. Indonesia
terbentang dari 6oLU–11oLS dan 95oBT–141oBT,
dari Sabang hingga Merauke yang berjajar pulau-pulau. Secara keseluruhan,
pulau-pulau di Indonesia berjumlah 17.508 buah pulau besar dan pulau kecil (Tim Kerja Sosialisasi MPR-RI, 2015). Sebagian
besar pulau-pulau tersebut didiami oleh penduduk dengan berbagai suku, agama,
ras, bahasa, budaya, dan keragaman lainnya. Kemajemukan tersebut telah menjadi
ciri khas bangsa Indonesia sekaligus sebagai suatu kebanggaan serta ancaman
apabila konflik antargolongan tidak segera diatasi.
Sebelum adanya multikulturalisme di Barat, bangsa
Indonesia telah memiliki pandangan hidup “Bhinneka Tunggal Ika”. Pada pemikiran
masyarakat yang majemuk, selain adanya kebudayaan kelompok suku bangsa,
masyarakat Indoesia juga terdiri dari beragam kebudayaan daerah yang bersifat
kewilayahan yang merupakan pertemuan dari berbagai kebudayaan kelompok suku
bangsa di daerah tersebut (Hermi Yanzi).
Di era kontemporer, Alvin Toffler seorang guru besar
dalam bidang futurologi melalui karyanya Future Shock The Third Wave (1970: 14)
mengatakan bahwa umat manusia akan mengalami tiga masa mulai dari era pertanian
yang disebut sebagai gelombang pertama antara 800 SM-1500 M. Pada masa ini
kehidupan manusia dicirikan dengan aktifitas yang berpindah-pindah tempat
(nomaden) untuk berburu dan mencari sumber makanan di alam bebas. Kemudian
masuk ke era industri dimana pada era ini ditemukan berbagai macam alat produksi
untuk memudahkan pekerjaan manusia seperti mesin uap, kendaraan bermotor, dan
bola lampu. Gelombang kedua ini berlangsung antara tahun 1500-1970 M. Gelombang
ketiga terjadi pada 1970-2000 M dimana era teknologi berkembang begitu pesatnya
melewati batas ruang dan waktu. Pada masa ini terjadi besar-besaran transfer
ilmu pengetahuan melalui berbagai macam alat-alat elektronik seperti komputer,
laptop, handphone, dan lain-lain.
Seiring majunya peradaban zaman zaman, bahasa daerah yang
merupakan ciri kearifan lokal hingga bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan dan
budaya bangsa semakin memudar. Untuk mengatisipasi lunturnya budaya dan bahasa yang
telah ada sebagai kodrat bagi bangsa Indonesia, diperlukan adanya peningkatan
keterampilan berbahasa dan mengenal budaya, khusnya bagi pelajar. Hal ini
berkaitan erat dengan perkembangan era globalisasi, yaitu sebagai dasar dalam
mencetak generasi maju yang pandai dalam menghadapi permasalahan era modern,
baik yang sudah nyata maupun yang masih abstrak.
1.
RUMUSAN MASALAH
a.
Apa pentingnya mengembangkan keterampilan
berbahasa dan mengenal budaya di kalangan pelajar?
b.
Bagaimana kaitannya pengembangan
keterampilan berbahasa dan mengenal budaya dengan menganalisis dan memecahkan masalah?
c.
Bagaimana cara meningkatkan keterampilan
berbahasa dan mengenal budaya yang dapat meningkatkan kemampuan menganalisis
dan memecahkan masalah?
2.
TUJUAN
a.
Mengetahui pentingnya mengembangkan
keterampilan berbahasa dan mengenal budaya di kalangan pelajar.
b.
Mengetahui kaitannya mengembangkan
keterampilan berbahasa dan mengenal budaya dengan menganalisis dan memecahkan
masalah.
c.
Mengetahui cara meningkatkan keterampilan
berbahasa dan mengenal budaya yang dapat meningkatkan kemampuan menganalisis
dan memecahkan masalah.
PEMBAHASAN
a) Pentingnya mengembangkan
keterampilan berbahasa dan mengenal budaya di kalangan pelajar.
Bahasa
merupakan salah satu alternatif yang digunakan seseorang untuk berkomunikasi.
Melalui bahasa, manusia dapat menjalin hubungan atau berinteraksi dengan alam
sekitarnya, terutama sesama manusia sebagai makhluk sosial ciptaan Tuhan (Hermi Yanzi). Bahasa sebagai media komunikasi
memiliki peran penting dalam mengungkapkan segala sesuatu yang ada dalam diri
seseorang, baik pemikiran, pandangan, pendapat, maupun emosi. Dalam kehidupan
sehari-hari, manusia tidak terlepas dari bahasa, baik yang diungkapkan melalui
lisan, tulisan, maupun yang diungkapkan melalui gerakan. Variasi dan perbedaan
cara berbahasa dapat menunjukkan kepribadian dan karakter seseorang. Kepribadian
adalah semua corak perilaku dan kebiasaan individu yang terhimpun dalam dirinya
dan digunakan untuk bereaksi serta menyesuaikan diri terhadap segala rangsangan
baik dari luar maupun dari dalam (Iyus Yosep, 2007). Menurut Alport,
kepribadian adalah organisasi dinamis di dalam individu dari sistem psikofisik
yang menentukan keunikan penyesuainannya terhadap lingkungan (Srivastava, 2018).
Corak perilaku dan kebiasaan ini
merupakan kesatuan fungsional yang khas pada seseorang. Perkembangan
kepribadian tersebut bersifat dinamis, artinya selama individu masih bertambah
pengetahuannya dan mau belajar serta menambah pengalaman dan keterampilan,
mereka akan semakin matang dan mantap kepribadiannya (Depkes, 1992). Sementara itu, menurut Kamus Lengkap Bahasa
Indonesia, karakter adalah sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang
membedakan seseorang dari yang lain, tabiat, watak. Dalam Dorland’s Pocket
Medical Dictionary (1968: 126) dinyatakan bahwa karakter adalah sifat nyata dan
berbeda yang ditunjukkan oleh individu (Pranowo).
Karakter seseorang dapat ditunjukkan melalui bahasa yang dilantunkan oleh orang
tersebut, salah satunya pelajar. Berdasarkan tujuannya, pelajar terbagi menjadi
dua macam, yaitu pelajar yang sungguh-sungguh dalam menuntut ilmu dan pelajar
yang hanya menjadikan sekolah sebagai formalitas belaka yang ditunjukkan dengan
sikap yang tidak terjaga. Pelajar yang berada di lingkungan yang mendukung
intelektualnya, cenderung akan menjaga bahasa atau ucapan mereka sebagaimana mestinya.
Contohnya, saat pelajar tersebut harus berhadpan dengan orang yang lebih tua,
mere cenderung menjaga bahasanya dengan tujuan menghormati lawan bicara mereka.
Sementara itu, pelajar yang berada dalam lingkungan yang acuh tak acuh terhadap
bahasa, mereka cenderung akan membebaskan dirinya untuk berbahasa semau mereka.
Hal ini erat kaitannya dengan budaya yang telah tercipta dalam lingkungan yang
melingkupi mereka. Dalam budaya Jawa, saat orang yang lebih muda berbicara atau
berkomunikasi dengan orang yang lebih tua, mereka akan mengubah bahasa
kesehariannya dengan bahasa yang lebih sopan seperti bahasa krama.
Budaya
terdiri dari pola eksplisit dan implisit dari perilaku yang diperoleh dan
ditransmisikan oleh simbol. Budaya terbentuk dari banyak unsur yang rumit,
termasuk sistem agama dan politik, adat istiadat, bahasa, perkakas, pakaian,
bangunan, dan karya seni serta bahasa, sebagaimana juga budaya, merupakan
bagian tak terpisahkan dari diri manusia sehingga banyak orang menganggapnya
sebagai genetis atau warisan turun-menurun. Menurut Kroeber dan Kluckhohn
(1951), budaya merupakan pencapaian khas dari kelompok manusia, termasuk perwujudan
mereka dalam artefak. Inti penting dari budaya yang terdiri dari gagasan
tradisional dan terutama yang berkaitan dengan nilai-nilai moral mereka. Sistem
budaya, dalam satu sisi dapat dianggap sebagai produk tindakan, sedangkan di
sisi lain dianggap sebagai elemen bersyarat dari tindakan masa depan (Spencer-Oatey, 2012).
Di
era globalisasi ini, semuanya semakin tidak terkendali. Beriringan dengan era
tersebut, banyak terjadi akulturasi budaya barat dengan budaya Indonesia yang
telah mengakar sejak zaman nenek moyang. Hal ini dikhawatirkan akan menyebabkan
terhapusnya budaya Indonesia dan terdorongmasuknya budaya barat yang tidak
sesuai dengan adat dan moral bangsa Indonesia. Ditambah lagi, abad-21
memberikan tantangan tersendiri bagi generasi muda Indonesia saat ini, khususnya
bagi kaum pelajar. Pelajar merupakan investasi yang disiapkan dari masa
sekarang agar menjadi orang-orang hebat yang memiliki pemikiran kritis dan
kreatif dalam menghadapi permasalahan di era global. Oleh karena itu, penting
bagi pelajar untuk meningkatkan keterampilan berbahasa dan mengenal budaya
Indonesia agar keduanya tetap terjaga hingga ke generasi selanjutnya.
b) Kaitannya pengembangan keterampilan
berbahasa dan mengenal budaya dengan menganalisis dan memecahkan masalah.
Berdasarkan
sejarah, para pendiri bangsa telah menyadari keberagaman yang ada di Indonesia.
Keberagaman tersebut telah diikat dalam ikrar Sumpah Pemuda. Ikrar pemuda
tersebut selanjutnya diperkuat daam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 36 dan Undang-Undang
Nomor 24 Tahun 2006 tentang Bendera, Bahasa, Lambang Negara, dan Lagu
Kebangsaan. Sebagai simbol jati diri bangsa, bahasa Indonesia harus tetap
dikembangkan agar tetap memenuhi fungsinya sebagai bahasa persatuan dalam
komunikasi nasional di berbagai aspek kehidupan. Dengan adanya bahasa
Indonesia, paham egosentris tentang kedaerahan dapat diminimalisasi sehingga
terciptalah bahasa komunikasi yang menyatukan berbagai keberagaman di
Indonesia.
Pada prinsipnya, orang yang
pandai berbahasa memiliki nilai lebih dalam mengomunikasikan pemikirannya. Apalagi,
di era globalisasi ini, bukan hanya keterampilan menulis dan duduk pasif di dalam
ruang kelas, melainkan harus bisa mengomunikasikan hasil pemikiran kita, baik
dari bentuk tulisan maupun yang masih terdapat dalam angan-angan. Hal ini
selaras dengan pemikiran abad-21, yaitu dimilikinya keterampilan communication atau komunikasi. Dalam
mengomunikasikan hasil cipta, karsa, rasa, dan pemikiran, seseorang harus bisa
berbahasa dengan baik agar lawan bicara atau pendengar dapat menangkap sesuatu
yang kita komunikasikan.
Bahasa
Indonesia memiliki fungsi dalam kedudukannya sebagai bahasa nasional, yakni:
(1) sebagai alat atau sarana pemersatu berbagai suku bangsa, (2) sebagai
lambang identitas nasional atau jati diri bangsa, (3) sebagai lambang
kebanggaan nasional, dan (4) sebagai alat atau sarana komunikasi antardaerah
dan antarbudaya daerah. Kemudian fungsi bahasa Indonesia dalam kedudukannya
sebagai bahasa negara,
yakni: (1) sebagai bahasa resmi
kenegaraan, (2) sebagai bahasa dalam hukum dan perundang-undangan, (3) sebagai
alat atau sarana pengembang Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) dan budaya,
serta (4) sebagai bahasa pengantar dalam dunia pendidikan (Kridalaksa, 1985).
Sesuai dengan fungsi bahasa Indonesia sebagai alat pemersatu
bangsa yang multikultural, bahasa dapat menyatukan beragam
pendapat, pandangan, maupun konsep pemikiran. Akan tetapi, perlu diingat bahwa
setiap fungsi pasti memiliki suatu kelemahan. Kelemahan itu akan timbul apabila
bahasa Indonesia tidak dapat dimanfaatkan secara bijak, baik, dan benar, dapat menimbulkan
suatu masalah baru. Contohnya, apabila bahasa Indonesia semata-mata hanya
digunakan untuk menjelek-jelekkan atau menyudutkan suatu kelompok masyarakat,
maka bahasa Indoesia tidak lagi berfungsi sebagai alat pemersatu bangsa.
Katakanlah, jika saja dalam suatu wilayah orang-orangnya hanya memiliki
keterampilan berbahasa, tetapi minim dalam mengenali budaya, maka wilayah
tersebut bisa hancur persatuannya karena penggunaan bahasa tidak dimanfaatkan
dan dikelola secara baik, melainkan menyimpang dari fungsi bahasa. Hal ini tentunya
dipengaruhi oleh budaya yang di dalamnya termaktub adat istiadat, moral, tata
krama, dan sopan santun dalam bergaul.
Selain itu, bahasa mencerminkan
karakter seseorang. Hal ini disebabkan oleh ujaran-ujaran yang dituturkan
secara literal dapat menunjukkan kesopanan, keakraban, memberikan penguatan, dan
menciptakan kedamaian serta kegembiraan hati. Begitu juga eleman-elemen nilai
yang terkandung dalam bahasa dijelmakan menjadi bagian dari sikap, perilaku,
kebiasaan, dan kebutuhan penutur bahasa. Jika elemen-elemen nilai kesantunan,
displin, jujur, hati-hati, dan bijaksana telah ditransfer menjadi sikap,
perilaku, kebiasaan, dan kebutuhan penutur bahasa, maka nilai-nilai itu sudah
menjadi jati diri dan karakter penutur bahasa tersebut (Oktavianus, 2013). Dengan
begitu, bahasa yang dituturkan seseorang telah menjadi ciri khas dan dapat
membentuk karakter penutur dari nilai-nilai bahasa yang dirtuturkan. Apabila
generasi muda saat ini mampu mengelola bahasa yang mereka tuturkan dengan baik,
maka karakter mereka secara tidak langsung akan terbentuk. Jika bahasa yang
dituturkan tersebut berasal dari sebuah ide atau gagasan yang telah dipikirkan secara kritis dengan
melihat variabel-variabelnya, maka permasalahan bangsa Indonesia mendatang
dapat diatasi dengan pemikiran-pemikiran kritis dan pengomunikasiannya kepada
pihak lain dengan bahasa yang mampu mereka tangkap.
Seiring berkembangnya zaman, teknologi pun ikut
berkembang. Hingga tahun 2018 ini, teknologi masih mengalami masa perkembangan.
Di mana artificial intelligence (AI),
yaitu area kompoter sains yang menekankan kreasi dari kecerdasan mesin yang
bekerja dan memberikan reaksi seperti manusia, kini tengah dikembangkan,
khususnya di negara-negara maju seperti Eropa dan Amerika. Bila bangsa kita
masih saja pasif menghadapi perkembangan teknologi yang semakin pesat, bisa
jadi dampak negatif perkembangan teknologi semakin menyebar dan tidak menutup
kemungkinan jika budaya nenek moyang selama ini akan semakin menipis dan
akhirnya menghilang.
Di
sisi lain, generasi muda memerlukan suatu inovasi yang nantinya bisa bermanfaat
bagi bangsa Indonesia kelak. Salah satu caranya yaitu dengan penerapan budaya
berpikir kritis yang dapat dimulai sejak dini. Budaya ini masih dikembangkan
oleh pemerintah melalui penerapan 4C (critical
thinking, creativity, colaboration, dan communication)
untuk menyongsong tantangan abad-21. Tentu saja, budaya yang telah tersusun di
zaman nenek moyang perlu dikenal, dipelajari kembali, lalu dikembangkan guna
menghasilkan budaya baru yang tidak terlepas dari turun-temurunnya budaya nenek
moyang bangsa Indonesia.
Sementara itu, dapat dikatakan
bahwa salah satu bentuk budaya ialah kearifan lokal. Kearifan lokal dapat
didefinisikan sebagai suatu kekayaan budaya lokal yang mengandung kebijakan
hidup; pandangan hidup (way of life)
yang mengakomodasi kebijakan (wisdom)
dan kearifan hidup (Suyatno, 2011). Di Indonesia, kearifan lokal
tidak berlaku secra lokal pada budaya tertentu, melainkan bersifat lintas
budaya sehingga membentuk nilai budaya yang bersifat nasional. Contohnya,
hampir di setiap budaya lokal di Indonesia mengajarkan gotong royong, toleransi,
semangat kerja, dan lain-lain. Pada umumnya, etika dan nilai moral yang
terkandung dalam kearifan lokal diajarkan secara turun menurun sejak zaman
nenek moyang. Namun, sifat turun-temurun tersebut tidak sepenuhnya terjamin
keutuhannya. Dalam kehidupan saat ini, banyak sekali pergeseran nilai moral
yang telah diwariskan sejak zaman nenek moyang karena arus globalisasi era
modern. Kearifan lokal yang sesungguhnya dipandang sebagai identitas bangsa
tidak akan bermakna tanpa dukungan ideologi yang berpihak kepadanya. Dalam
konstelasi global, ketika perang dingin telah berakhir dengan runtuhnya Uni
Soviet, tanpa ideologi yang menyertai kepentingan nasional, bangsa ini akan
semakin kehilangan identitas dalam percaturan global dan hanyut dalam arus
globalisasi yang didikte oleh negara lain.
Apabila generasi muda telah
dapat menelaah budaya yang selama ini termaktub dalam budaya bangsa Indonesia,
maka kecil kemungkinannya budaya tersebut akan meluruh. Seiring berjalannya
arus globalisasi, generasi muda harus bisa membentengi bangsa Indonesia agar
tidak hanyut dalam pengaruh negatifnya yang dapat menghancurkan persatuan dan
kesatuan bangsa melalui permasalahan-permasalahan yang timbul, baik yang
terduga maupun yang tidak terduga. Pengetahuan bahasa dan budaya harus saling
berkaitan satu sama lain. Tidaklah suatu bangsa dapat bertahan tanpa adanya
budaya, dan tidaklah suatu bangsa saling mengerti pemikiran kaumnya tanpa
adanya bahasa. Dalam praktik dunia teknologi ini, banyak permasalahan baru yang
akan timbul. Oleh karena itu, untuk mengatasinya, dibutuhkan generasi muda yang
aktif, cerdas, kreatif, berpikir kritis, dapat berkomunikasi lewat bahasa yang
baik, dan tidak meninggalkan budaya yang selama ini telah diajarkan oleh nenek
moyang bangsa Indonesia sebagai bekal memajukan Indonesia melalui pemikiran-pemikiran
analitik dan berkonsep pada budaya bangsa dengan jalan menganalis masalah
tersebut dan memecahkannya secara bersama-sama melalui komunikasi bahasa
persatuan, bahasa Indonesia, dengan catatan tidak melupakan bahasa daerah yang
telah menjadi ciri khas kemajemukan Indonesia.
c) Cara meningkatkan keterampilan
berbahasa dan mengenal budaya yang dapat meningkatkan kemampuan menganalisis
dan memecahkan masalah.
Keterampilan
berbahasa dan mengenal budaya dapat ditingkatkan melalui pengembangan literasi yang bermanfaat dan senantiasa menjaga kearifan
lokal bangsa Indonesia yang selama dalam perjalanannya semakin terkooptasi oleh
berbagai kepentingan ekonomi dan politik global yang dijalankan oleh
negara-negara maju. Literasi mengajarkan kita untuk bisa berpikir kritis,
mendalami sebuah permasalahannya, kemudian menganalisis permasalahan baru yang
akan timbul walaupun masih secara abstraksi.
Dikarenakan
arus globalisasi dan kemajuan teknologi yang pesat di era modern ini, banyak
budaya Indonesia yang telah mengakar sejak zaman dahulu kini menjadi semakin menipis
dan pola perilaku masyarakat menjadi berubah mengikuti pola ekonomi modern yang
serba konsumtif. Untuk mengatasi masalah ini, generasi muda harus bisa mempersiapkan
sejak dini keterampilan yang menunjang dalam mengahadapi tantangan abad-21
mendatang, yaitu dengan senantiasa menjaga bahasa daerah hingga bahasa nasional
dengan sebaik-baiknya dan jangan melupakan budaya daerah yang menjadi ciri khas
budaya nasional bangsa Indonesia.
DAFTAR
PUSTAKA
Iyus Yosep, S. M. (2007). Konsep Kpribadian, Kesadaran,
Konsep Emosi, Konsep Stress dan Adaptasi, Depresi, Pengukuran Dan Uji
Perilaku.
Kridalaksa, H. (1985). Fungsi Bahasa dan Sikap Bahasa.
Nusa Indah.
Oktavianus. (2013). Bahasa yang Membentuk Jati Diri dan
Karakter Bangsa. Journal Arbitrer, 72.
Pranowo, D. D. (n.d.). Implementasi Pendidikan Karakter
Kepedulian dan Kerjasama pada Matakuliah Keterampilan Berbicara Bahasa Perancis
dengan Metode Bermain Peran.
Spencer-Oatey, H. (2012). Global PAD Core Concepts. What
is Culture?
Srivastava, G. S. (2018). What
Makes a Good Structural Model of Personality? Personal Dimentions.
Suyatno, S. (2011, April 23). Badan Pengembangan dan
Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Retrieved September
27, 2018, from Revitalisasi Kearifan Lokal sebagai Upaya Penguatan Identitas
Keindonesiaan:
badanbahasa.kemdikbud.go.id/lamanbahasa/content/revitalisasi-kearifan-lokal-sebagai-upaya-penguatan-identitas-keindonesiaan
Tim Kerja Sosialisasi MPR-RI. (2015). Empat Pilar
Kehidupan Berbangsa dan Bernegara. Jakarta:
Sekretariat Jenderal MPR-RI.